Berita

Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL Adakan Konfrensi Pers Terkait Bencana Alam yang di Sebabkan Kerusakan Lingkungan Di Tano Batak

Oleh: Risnan Ambarita 

Melihat situasi Tano Batak saat ini sedang tidak baik-baik saja. Seperti yang di alami oleh masyarakat di Kengerian Sihotang, Kec. Harian, Kab. Samosir dan Desa Simangulampe, Kec. Baktiraja, Kab. Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, mengalami duka mendalam akibat bencana alam banjir bandang dan longsir yang menimbun rumah warga bahkan menyebabkan korban jiwa. Akibat kejadian  tersebut tersebut Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL melaksanakan acara konfrensi pers dengan mengangkat tema:“Tragedi Ekologis Di Tano Batak” pada hari Senin, 11 Desember 2023 di Sitalbak Coffee, Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara.

Para Narasumber di kegiatan konferensi pers. Dok: Sopo Tano Batak_2023

Kegiatan ini berlangsung untuk mendengar kesaksian langsung atas peristiwa bencana di Kenegerian  Sihotang dan juga di Desa Simangulampe yang dialami oleh keluarga korban bencana yang melibatkan para jurnalis, media massa dan media elektronik, untuk membantu menyuarakan aspirasi dan tuntutan masyarakat korban melalui pemberitaan media masing -masing.

Hengky Manalu selaku moderator acara menyampaikan, rentetan peristiwa bencana ekologis yang terjadi di Tano Batak dua bulan terakhir menyebabkan korban jiwa dan kerugian material yang sunguh mengejutkan kita semua. Pengerusakan hutan yang massif diduga merupakan penyebab dari kejadian ini. Dalam acara ini kita mengundang narasumber dari berbagai sudut pandang, salah satunya Togu Simorangkir (aktivis lingkungan), Juritno Sirait (Pendeta) Anggiat Sinaga (Aliansi gerak tutupTPL) serta masyarakat korban bencana dari Sihotang dan Siamangulampe. Di awal pembukaan acara Hengky mempersilahkan masyarakat Sihotang dan Simangulampe memberikan kesaksian tragedi terjadinya bencana dan bagaimana perasaan serta harapan mereka kedepan.

Waspin silalahi, seorang tetua usia 71 tahun dari Desa Sihotang, meneteskan air mata saat menceritakan kejadian pilu itu, yang mengakibatkan istirinya meninggal dunia. Waspin mengalami trauma, ia kecewa dengan pemerintah yang tidak datang melihat langsung kejadian yang sebenarnya dikampung. Waspin tidak lagi memiliki tempat tinggal, rumahnya disapu banjir bandang bercampur bebatuan pada saat perististiwa. Dia bercerita bahwa kejadian tersebut baru kali ini terjadi di desanya, penyebab bencana ini  menurutnya Waspin, karena penggundulan hutan.  “Sejak dulu ayah saya melarang menebang kayu di hulu Sungai, yang berada di hulu Hutan Sihotang karena kampung kami berada di lembah dan ketika hutan di hulu rusak kami akan menerima resikonya”. Kata Waspin

Waspin Silalahi seorang tetua dari Sihotang menceritakan bagaimana banjir menghancurkan rumahnya dan istrinya menjadi korban dari peristiwa itu. Dok: Sopo Tano Batak_2023.

Waspin Silalahi, berharap kepada pemerintah untuk membantu membangun gubuk sebagai tempat tinggalnya sementara dan mendesak pemerintah untuk segera menghentikan penebangan hutan yang beresiko mengakibatkan bencana dan tidak ada lagi bencana susulan ke depan yang membuat warga khawatir.

Ditambahkan oleh Rinlas Riana Silalahi putri dari Wapin Silalahi, “kami sebagai rakyat kecil tidak mengerti apa penyebab sebenarnya terjadinya banjir di kampung, sudah hampir satu bulan ibu saya meninggal dihantam banjir, menghantam rumah, lahan pertanian, serta harta benda orang tua saya hangus, sampai saat ini kami masih berharap agar pemerintah hadir kekampung untuk meninjau langsung kelapangan”. Kata Rinlas.

Demikian juga penjelasan Stevani Silaban, perwakilan masyarakat Desa simangulampe yang merasakan kejadian tidak disangka, “akibat bencana banjir yang bercampur bebatuan besar yang menimpa pemukiman warga ini, kami sangat berduka, sekitar sepuluh orang korban jiwa di Simangulampe belum ditemukan sampai kini. Saat ini kami merasa khawatiran, trauma melihat bukit yang gundul di Desa Simangulampe dan kami selaku pemuda pemudi mengutuk siapa yang melakuakan penggundulan hutan itu, sebab rusaknya hutan adalah ancaman bagi masyarakat di Desa Simangulampe”. Kata Stevani.

Mendengar cerita dari keluarga korban, Anggiat Sinaga ketua Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL merespon kegelisahan atas perusakan hutan yang masih terjadi di hulu bukit-bukit Danau Toba, yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kata Anggiat “Pelanggaran ini baik yang secara legal dan ilegal sebenarnya membawa kehancuran. Hal ini menjadi tanggung jawab kita masyarakat dan juga pemerintah. Seperti yang dilakukan PT Toba Pulp Lestari saat melakukan penebangan pohon dan menggantinya dengan tanaman monokultur serta pembukaan lahan yang sangat merusak tanah dan hutan”. Kata Anggiat.

Anggiat juga mengatakan “terjadinya bencana ini bukan semata bencana alam karena curah hujan yang lebat tetapi karena pengerusakan lingkungan yang terjadi saat ini. Oleh karena itu kepada seluruh masyarakat yang berada di pinggiran Danau Toba kita bisa melihat kejadian yang menimpa Desa Sihotang dan Simangulampe, kita harus membangun kekuatan bersama, untuk menghentikan perusakan lingkungan demi keselamatan kita bersama”. Tegas Anggiat.

Ditambah oleh Togu Simorangkir aktivis lingkungan yang telah aksi jalan kaki ke Jakarta untuk membawa asprasi kepada Presiden RI pada tahun 2021 lalu atas keresahan yang di alami masyarakat di kawasan Danau Toba, agar Presiden  menutup PT Toba Pulp Lestari yang merusak lingkungan di Tanah Batak dan merampas tanah masyarakat adat.

Togu memandang kejadian yang menimpa masyarakat Desa Sihotang dan Simangulampe merupakan tragedi bencana ekologis dalam dua bulan terakhir ini, adalah efek dari waktu yang sangat panjang karena rusaknya hutan. Dimana selama ini kita sudah memperjuangkan agar perusakan lingkungan dan penebagan liar ini bisa di tinjau atau di cabut izinya, termasuk yang diberi pemerintah karena telah menghancurkan ekosistem Danau Toba. Akibatnya membawa dampak buruk kepada Masyarakat dipinggiran Danau Toba.

Juritno Sirait seorang Pendeta dari Gereja HKBP, turut menyampaikan duka cita atas kejadian yang menimpa masyarakat Desa Sihotang dan Simangulampe. Pendeta Sirait menyampaikan bahwa Tuhan meniptakan bumi dan segala isinya sudah pasti baik dan Tuhan menciptakan segala ciptaan itu mencukupkan untuk ciptaanya sendiri, hanya saja manusia dengan naluri kerakusannya jadi meninggalkan naluri ke Ilahiannya. Oleh karena itu, kerakusan itulah yang merusak kita sendiri, siapa itu? Yang pasti orang orang yang ingin produksinya tinggi, besar dan cepat yaitu Korporasi kapitalis yang tidak peduli dengan nilai kemanusiaan, tak perduli dengan kerusakan lingkungan.

Pendeta mengatakan, banyak yang seprofesi dengan saya, menganggap bahwa kejadian ini hanya semata bencana alam, mendengar kesaksian dari bapak silalahi dan putrinya serta Stevani Silaban, bisa batu longsor dari bukit sebesar mobil menimbun rumah warga, mendengar itu saya sangat merinding dan tidak terbayangkan. Kata Pendeta banyak orang kita tidak mengerti tentang Danau Toba ini, saya lahir di parapat di pantai Danau Toba, yang sejak saya anak-anak belum sekolah sudah bisa berenang.  Sejak itu air Danau Toba masih bisa diminum karena bening seperti kaca dan sekarang perlahan keruh kuning seperti emas dan sampai sekarang saya tidak berani lagi berenang di Danau Toba.

Itu semua terjadi ketika orang yang tidak mengerti dengan Danau Toba, salah satunya pejabat yang tidak tinggal dan hidup disini namun terpilih, dengan mudah dia mengundang korporasi kapitasli hingga akhirnya membawa kerugian kepada masyarakat di sekitaran Danau Toba. Ke depan kita harus sadar bersama untuk menjaga hubungan kita dengan alam untuk menjamin keberlangsungan masa depan generasi yang akan datang.

Diakhir sesi Anggiat Sinaga menyampaikan rekomendasi . “Ini harus dipandang sebagai aksi tanggapan jangka panjang, karena rusaknya hutan dan ekosistem tidak hanya memungkinkan bencana belakangan, namun lebih lanjut bisa berbuah kekeringan, krisis air, dan penggerusan biodiversitas kawasan Danau Toba.

Untuk itu, paling tidak, hal-hal berikut harus dilaksanakan segera oleh pemerintah daerah maupun pusat:

  1. Menindak tegas pelaku-pelaku pengrusakan hutan di Kawasan Danau Toba. Dan membebankan seluruh kerugian yang ditimbulkan ke semua pihak yang terlibat dalam pengerusakan hutan;
  2. Mencabut izin-izin perusahaan yang merusak ekosistem Kawasan Danau Toba. Pemerintah harus benar-benar mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan;
  3. Pemerintah Kabupaten di Kawasan Danau Toba harus menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim secara partisipatif yang menjadikan masyarakat adat dan masyarakat lokal sebagai subyek dari RAD tersebut.

Pada pokoknya, pemerintah harus memperhatikan aspek lingkungan hidup yang tidak hanya berkelanjutan, tetapi juga berkeadilan. Kesejahteraan adalah hak semua orang, bukan segelintir”. Tegas Anggiat

Selamatkan Bonapasogit! Tinjau Ulang Pembangunan! Tutup Perusahaan Perusak Lingkungan! Lakukan Aksi Iklim yang Berkeadilan!

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Tano Batak.

tanobatak

Sebuah organisasi masyarakat adat yang ada di daerah Tanah Batak Sumatera Utara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *