Kontorversi Kawasan Suaka Margasatwa Dolok Surungan

Kawasan Suaka Margasatwa Dolok Surungan sebuah kawasasan seluas 23.800 Ha yang di klaim pihak Kehutanan sebagai kawasan Suaka Margasatwa tepatnya di Desa Meranti Timur Kecamatan Pintu Pohan Meranti, Kabupaten Toba Samosir. Sudah sejak lama menimbulkan kontroversi di masyarakat adat Sigalapang yang dimana wilayah adat mereka masuk ke dalam Kawasan Suaka Margasatwa Dolok Surungan yang diklaim pihak Kehutanan dan pengunaan nama Dolok Surungan yang menimbulkan kontroversi. Hal ini menjadi ancaman terhadap kedaulatan wilayah adat masyarakat adat Sigalapang yang dimana sudah menjadi rumah bagi mereka dan sudah mereka kelola sebagai sumber-sumber kehidupan seperti bertani padi, jagung dan jengkol sejak ratusaan tahun yang lalu.

Masyarakat adat Sigalapang terusik dengan klaim pihak Kehutanan yang menyatakan wilayah adat mereka masuk dalam Kawasan Suaka Margasatwa Dolok Surungan yang pastinya akan mengusur mereka dari tanah adatnya. Awal Permasalah ini bermula ketika Pemerintahan melalui Departemen Kehutanan pada tahun 1974 menentapkan wilayah adat Sigalapang masuk ke dalam Suaka Margasatwa yang diberi nama Suaka Margasatwa Dolok Surungan seluas 23.800 Ha. Masyarakat adat Sigalapang kala itu tidak berani melakukan protes karena rezim Orde Baru yang terkenal otoriter dan tidak segan-segan menggunakan kekerasaan bersenjata. Dalam prosesnya masyarakat adat Sigalapang perlahan-lahan mulai tergusur akibat banyaknya intimidasi dari para Aparat Keamanan kala itu dan masyarakat pun dilarang berladang yang hal ini menimbulkan persoalan ekonomi di masyarakat adat Sigalapang, sebab sumber-sumber kehidupan mereka sudah dirampas dan dijauhkan dari tanah leluhurnya.

Perkampungan Masyarakat Adat Sigalapang 

Berbicara mengenai Dolok Surungan yang  memiliki arti Dolok yaitu Bukit/Gunung dan Surungan yang artinya besar menjadi nama Kawasan Suaka Margasatwa sudah sejak lama mendapat protes dari masyarakat adat Sigalapang. selain karena wilayah adat mereka masuk dalam kawasan tersebut juga nama Dolok Surungan memiliki keterkaitan spritual bagi masyarakat adat Sigalapang khusunya mereka yang menganut Agama Parmalim. Agama Parmalim yang merupakan Agama leluhur masyarakat Batak Toba dalam proses ritualnya memiliki keterkaitan yang erat dan spritual terhadap nama Parsurungan Nabolon.

Dalam proses ritual tersebut disuguhkan berbagai macam persembahan yaitu berbagai macam makanan yang disukai pada zaman dahulu. Ritual ini merupakan untuk menyembah dan memohon kepada Mulajadi Nabolan (Tuhan Yang Maha Besar) melalui roh-roh para leluhur yang diyakini mampu menyampaikan pesan tersebut. Adapun roh yang akan disebut di waktu pelaksanaan ritual adalah “Opung Parsurungan Nabolan”. Parsurungan Nabolon adalah nama yang mempunyai kemampuan untuk menyimpan setiap kejadian yang sudah lampau bahkan yang akan datang atau dalam bahasa Batak Toba disebut “Parsippanan Ni Namasa Dohot Namusim Disandok Liat Portibion”.

Salah Satu Ritual Agama Parmalim yang Masih dilaksanakan Masyarakat Adat Sigalapang Sampai Saat Ini.

 

Melihat dari arti kata tersebut bahwa Nama Parsurungan Nabolon merupakan nama yang tidak boleh diumbar secara sembarangan dan nama yang sangat disakralkan oleh penganut agama Parmalim. Sehinggga dalam penyebutan nama tersebut harus melalui acara ritual yang sah dalam Parmalim. Sehingga harus disediakan persembahan untuk pemilik nama tersebut sebagai tanda penghormatan dan kesrakalan nama tersebut, hal ini dilakukan agar setiap yang hadir dalam acara ritual tersebut dijaga dari segala bencana.

Hal tersebut jelas mendapat tentangan dari masyarakat adat Sigalapang yang dimana masih terdapat banyak penganut Parmalim meskipun sebagian besar sudah masuk Islam dan Kristen akan tetapi nama tersebut tetap disakralkan oleh masyarakat adat Sigalapang.  Pengunaan nama Dolok Surungan yang dibuat oleh Pihak Kehutanan untuk menunjukan kawasan Suaka Margasatwa yang dimana letak pastinya tidak diketahui bahkan oleh masyarakat setempat, karena bagi masyarakat adat Sigalapang sendiri tidak mengenal adanya Dolok Surungan yang di maksud dan pengunaan nama tersebut sudah melecehkan karena tidak menghormati Para penganut Parmalim maupun masyarakat adat Sigalapang sendiri.

Kawasan Suaka Margasatwa Dolok Surungan pun memiliki kontroversi lainya, dimana pasca masayarakat adat Sigalapang dipaksa keluar dari wilayah adatnya perlahan-lahan Kawasan Suaka Margasatwa tersebut berubah rupa dengan masuknya para pengusaha kayu dari asahan yaitu PT. Sumatera untuk mengambil kayu alam yang dimanan terlibat oknum dari Kehutanan dan Aparat Bersenjata yang mendukung para perambah kayu tersebut. setelah kayu alam dari Sigalapang habis dirambah, pada awal tahun 1980-an para Pengusaha perkebunan kelapa sawit dari Asahan yaitu Acun,Suhok,Jebua dan pengusaha lainya diberi izin oleh Pemerintah kala itu untuk masuk dan membuat perkebunan kelapa sawit. Hal ini jelas bertentangan dengan Kawasan Suaka Margasatwa yang dimaksud tadi sebab dalam prosesnya hanya dijadikan topeng untuk dijadikan bisnis oleh para onum-oknum BKSDA (Kehutanan) kala itu untuk meraup untung dari jual beli izin tersebut. Masyarakat adat Sigalapang yang kala itu tidak bisa berkutik sebab Pemerintah Orde Baru tidak segan-segan untuk menindak mereka yang menghalangi investasi para pengusaha dengan penggunaan Aparat Bersenjata kala itu.

Hamparan Perkebunan Kelapa Sawit Milik PT. Nariti yang Berbatasan Langsung Dengan Wilayah Adat Sigalapang.

Pasca Reformasi setelah para pengusaha tersebut perlahan-lahan keluar meninggalkan perkebunan kelapa sawitnya, masyarakat adat Sigalapang berangsur-angsur kembali mengelola tanah adat leluhur mereka yang dimana mereka sempat tergusur sejak tahun 1974. Namun masyarakat adat Sigalapang yang ingin mengelola dan memulihkan kembali tanah leluhur mereka kembali mendapat tentangan dari Pihak Kehutanan melalui BKSDA yang menuduh masyarakat telah melakukan perambahan hutan di Kawasan Suaka Margastwa Dolok Surungan. Hal ini jelas bertentang dari fakta sejarah dan lapangan menginggat hampir semua wilayah yang ada di Desa Meranti Timur sudah berubah rupa menjadi perkebunan kelapa sawit dan faktanya pihak Kehutanan lah yang terlibat beserta para Pengusaha yang melakukan pengerusakan terhadap sumber-sumber daya alam yang ada di wilayah adat Sigalapang. Tindakan represif yang dilakukan oleh Pihak Kehutanan dengan Dukungan Aparat Keamanan (TNI dan Polri) pada tahun Oktober 2015, dimana rumah-rumah yang mereka bangun sebagai tempat tinggal dan membangun kehidupan di bongkar paksa dan ladang-ladang yang sudah mereka tanami dengang padi dan jagung sebagai sumber kehidupan mereka juga tak luput dari pengerusakan semakin membuat masyarakat adat Sigalapang terancam.

Salah Satu Rumah Milik Masyarakat Adat Sigalapang Yang Dirusak Oleh Pihak Kehutanan Dibantu Aparat Keamanan.
Tanaman Padi Masyarakat Adat Sigalapang yang Tidak Luput Dari Pengrusakan.

Tidak berselang beberapa lama pada bulan Februari 2016, 10 orang masyarakat adat Sigalapang ditangkap dan dipenjara dengan vonis masing-masing 8 bulan masa kurungan dengan tuduhan bahwa melakukan perusakan Hutan Suaka Margasatwa Dolok Surungan. Inilah yang dialami oleh masyarakat adat Sigalapang kekerasaan oleh aparat serta intimidasi membayangi kehidupan masyarakat adat Sigalapang. jika menilik dari Sejarah, Kawasan Hutan Suaka Margasatwa yang disebutkan oleh pihak Kehutanan tersebut tidak jelas posisnya dan faktanya masyarakat sudah bermukim dan berladang di Sigalapang sejak ratusan tahun yang lalu jauh sebelum adanya keputusan penetapan kawasan Suaka Margasatwa tersebut.

Sampai saat ini disekitar wilayah adat Sigalapang dikepung oleh lahan perkebunan kelapa sawit milik PT. Ganda Sormin dan PT. Nariti. Hal ini jelas menimbulkan kekhawatiran pada masyarakat adat Sigalapang sebab keberadaan kedua Perusahaan tersebut tidak pernah dipersolakan oleh pihak BKSDA dan menjadi hal yang aneh ketika masyarakat adat yang jelas-jelas memiliki ikatan sejarah serta spritual terhadap tanah leluhurnya, ingin mengelola dan membangun kembali serta memulihkan tanah adat mereka yang telah dirusak oleh oknum-oknum Kehutanan dan korporasi kini selalu dihadapkan pada tindakan-tindakan diskriminatif dan represif dari Pemerintah.

link : https://tanobatak.aman.or.id/?p=288

Hentikan Intimidasi dan Politik Pecah Belah Terhadap Masyarakat Adat Sigalapang

Lagi-lagi oleh pihak KLHK (Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) memperlihatkan arogansi kepada Masyarakat Adat Sigalapang, Desa Meranti Timur, Kec. Pintu Pohan Meranti, Kab. Tobasa, tepatnya pada 28 Agustus 2018, hari Selasa  pagi dengan membawa aparat berseragam tentara dan polisi hanya untuk menancapkan plang kelompok tani yang mereka ciptakan sendiri. hal ini dapat dilihat sebagai upaya dari pihak KLHK untuk melakukan intimidasi dan pecah belah diantara masyarakat dengan membentuk sebuah kelompok tani yang mengatasnamakan masyarakat Sigalapang.

Sudah lama masyarakat adat Sigalapang mengalami perlakuan diskriminatif dan represif dari Negara melalui pengunaan Aparat bersenjata lengkap dan aksi kekerasaan yang sering kali dilakukan oleh Aparat kepada masyarakat adat Sigalapang ketika adanya penolakan dari masyarakat adat Sigalapang terkait kebijakan di wilayah adat Sigalapang. Tahun 70-an oleh pihak Dinas Kehutanan bersama-sama dengan aparat keamanan yang membawa senjata melakukan intimidasi kepada Masyarakat Adat Sigalapang. Dengan tujuan agar warga meninggalkan wilayah adatnya dan dengan alasan bahwa warga bermukim di kawasan Hutan Konservasi . Tidak lama kemudian wilayah adat yang berisi hutan, tanaman pertanian, pemukiman berganti menjadi tanaman sawit milik perusahaan swasta. 

Tahun 2000-an setelah perusahaan pemilik sawit hengkang dari Sigalapang. Oleh pemilik wilayah adat mengusahai lahan dengan bercocok tanam. Tetapi pihak Kehutanan tahun 2016 mempidanakan 10 orang masyarakat adat dengan tuduhan pengrusakan kawasan hutan margasatwa.Setelah berhasil memenjarakan warga, oleh pihak BKSDA juga turut menghancurkan rumah dan pondok milik warga. ini merupakan sebuah bentuk dari arogansi Pihak Kehutanan terhadap masyarakat adat Sigalapang yang jika menilik dari sejarahnya sudah lebih dari 200 tahun hidup dan mengelola wilayah adat Sigalapang jauh sebelum terbentuknya Republik Indonesia dan Kehutanan itu sendiri.

 

Aparat yang dikerahkan oleh Pihak Kehutanan.

 

Padahal jika melihat situasi di Sigalapang, Kawasan Suaka Alam yang disebut oleh pihak Kehutanaan sudah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh para pengusaha-pengusaha yang berlindung di balik izin-izin dari pihak Kehutanan. Masyarakat Adat Sigalapang menuntut agar tanah leluhur mereka kembali kepada mereka sehingga sumber-sumber daya yang dulunya menopang kehidupan mereka serta kelestarian lingkungan wilayah adat mereka dapat dipulihkan kembali oleh masyarakat adat Sigalapang, jangan lagi Pihak Kehutanan melakukan tindakan-tindakan arogan dengan mengerahkan Aparat Keamanan serta melakukan praktek pecah belah diantara masyarakat di Sigalapang. Sudah lama Pihak Kehutanan melakukan modus atas nama hutan konservasi dan Pelestarian Alam namun kenyataanya hutan-hutan tersebut dijadikan ladang bisinis oleh oknum-oknum dari Kehutanan dengan menjual izin kepada para pengusaha untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Oknum-oknum Kehutanan sudah menjadi  mafia lahan/tanah untuk para pengusaha-pengusaha.

Pihak Kehutanan jika memang benar ingin melestarikan Hutan seharusnya bisa mengajak duduk bersama masyarakat adat Sigalapang sebagai pemilik hak ulayat atas tanah adat Sigalapang agar bersama-sama untuk melakukan pelestarian kawasan hutan . karena Jika bicara terkait pelestarian hutan, masyarakat adat Sigalapang yang telah ratusaan tahun mendiami wilayah adat Sigalapang berhasil menjaga kelestarian serta sumber-sumber daya alam di sekitar wilayah Sigalapang berkat pengetahuan tradisonal serta nilai-nilai kearifal lokal yang terus mereka jaga sampai saat ini. Namun oleh pihak Kehutanan sendiri tanpa sepengetahuan dari masyarakat mengklaim secara sepihak tanah adat yang dikelola oleh masyarakat serta adanya pelibatan aparat bersenjata dalam proses negoisasi penyelesaian konflik yang justru menimbulkan keresahaan terhadap masyarakat karena dalam hal ini justru masyarakat semakin merasa terintimidasi terlebih banyaknya kriminalisasi terhadap orang-orang yang memperjuangkan tanah leluhur mereka.

                                       Pihak Kehutananan dan Aparat Keamanan

 

Cara-cara seperti inilah yang tidak di inginkan oleh masyarakat adat Sigalapang terhadap tanah leluhur mereka yang sudah hancur lebur dan dijadikan ladang bisnis oleh oknum-oknum mafia tanah serta pihak Kehutanan. sementara saat masyarakat adat Sigalapang ingin mengelola tanah adatnya, masyarakat langsung dihadapkan pada tuduhan-tuduhan dan fitnah yang keji dan dikriminalisasi dengan tuduhan pengarap liar/perambah hutan. Hal seperti ini yang menyebabkan semakin meluasnya konflik-konflik tenurial khusunya di tanah Batak atau kawasan Danau Toba akibat klaim sepihak dari Dinas Kehutanan terhadap Hutan/Tanah Adat Masyarakat dan proses penetuan kebijakan/program-program Pemerintah di wilayah adat yang tidak melibatkan masyarakat adat itu sendiri sebagai komunitas yang mendiami wilayah tersebut terlibat secara untuk partisipatif dan aktif dalam menentukan model pembangunan/kebijakan yang tepat atas wilayah adat mereka.

Pertanyaannya adalah kenapa perlakuan pada tahun 70-an persis sama terjadi dengan sekarang?
Dimana peran Nawacita yang digembar-gemborkan oleh Pemerintahaan Saat ini?

Plang yang Dibuat Oleh Pihak Kehutanan mengenai Pemulihan Ekosistem Kawasan Konservasi yang bermitra dengan Kelompok Tani Nauli.

 

Link : https://tanobatak.aman.or.id/?p=176