Perkuat Solidaritas Pulihkan Kedaulatan Masyarakat Adat: Musyawarah Daerah II AMAN Daerah Toba

 

Matio. 28/04/2022. Momentum Musyawarah Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Toba yang kedua menjadi momen memperkuat solidaritas sesama masyarakat adat di daerah Toba demi terwujudnya kedaulatan masyarakat adat. Situasi masyarakat adat saat ini sedang menunggu kebijakan pengakuan dan perlindungan pemerintah di kawasan Danau Toba. Momen ini menjadi salah satu agenda utama yang bergulir di tengah komunitas adat di Toba. Momentum tersebut menjadi salah satu langkah untuk menemukan solusi dan rencana bersama masyarakat adat, pemerintah dan lembaga/masyarakat sipil lainnya untuk mempercepat proses pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Toba. 

Seminar yang mengusung tema “Penetapan Masyarakat adat dan Wilayah Adat di kabupaten Toba” menjadi salah satu topik diskusi yang diangkat dalam seminar dialog antara Masyarakat adat dan pemerintah. Mewakili Pemerintah Daerah Toba Sekretaris Daerah Augus Sitorus beserta jajarannya hadir dalam seminar tersebut,  Abdon Nababan dan Roganda Simanjuntak hadir mewakili AMAN. Hadir juga Tokoh Gereja, Pendeta Nelson Siregar dan Lembaga KSPPM yang di wakili oleh Rocky Pasaribu. Kegiatan ini melibatkan komunitas adat Matio, Natumingka, Simenakhenak, Ombur, Janji, Sigalapang, Pardomuan Nauli, Natinggir, Janji Maria dan Pagaran.  

Seminar musyawarah Daerah Toba. (Matio,27/04/22).

Agenda seminar menyimpulkan untuk membuka ruang dialog yang intens antara masyarakat adat dan pemerintah dengan melibatkan unsur masyarakat sipil yang konsen terhadap masyarakat adat selama ini. Sebagai upaya mengkontekstualisasikan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat seiring dengan perkembangan zaman. Begitu juga dengan konflik masyarakat adat dengan izin yang berada di wilayah adat sudah begitu lama berlangsung. Pengaruh ini menjadikan masyarakat adat di Toba menjadi korban dari diskriminasi atas hak adatnya. Dengan dialog ini masyarakat adat berharap ada rencana tindak lanjut yang lebih konkrit dari pemerintah untuk menindaklanjuti proses pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Toba. Hal ini  sudah diperintahkan Peraturan Daerah Toba tentang Pengakuan Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Batak Toba Samosir No. 1 Tahun 2020. 

Selanjutnya musyawarah komunitas Masyarakat adat yang kedua dilaksanakan untuk merumuskan kerja-kerja organisasi dan periodesasi kepengurusan  AMAN Daerah Toba untuk 2022-2027. Kegiatan berlangsung di komunitas adat Huta Matio, Desa Parsoburan Barat, Kecamatan Habinsaran, Kabupaten Toba berlangsung selama 2 hari. Hasil musyawarah Adat yang kedua ini mengutus Hotman Siagian mewakili komunitas adat Matio untuk kembali menjadi Pengurus di Daerah AMAN Toba dengan 5 Orang Dewannya mewakili 4 komunitas adat untuk periode 2022-2027. Para perwakilan masyarakat adat yang hadir mewakili komunitasnya, merumuskan beberapa agenda prioritas untuk ditempuh bersama. Proses pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi salah satu prioritas yang dirumuskan. Pasca proses identifikasi dan verifikasi masyarakat adat di Toba yang dilakukan oleh TIM Terpadu yang dibentuk oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Bulan September 2021 lalu belum sepenuhnya menjawab keinginan dari masyarakat adat. 

Pengurus AMAN Daerah Toba 2022-2027.(Matio,28/04/202).

Beberapa poin rekomendasi hasil musyawarah AMAN Daerah Toba yang kedua ini adalah;

  1. Mendesak pemkab Tobasa untuk menerbitkan SK Penetapan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat.
  2. Mendesak Pemkab Tobasa untuk segera mengeluarkan Hutan Adat dari kawasan Hutan Negara dan areal konsesi PT TPL
  3. Pemkab Tobasa harus melindungi dan membela masyarakat adat korban kriminalisasi
  4. Mendesak pemerintah untuk segera menutup PT Toba Pulp Lestari.
  5. Mendesak Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLK) untuk segera menindaklanjuti proses verifikasi keberadaan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat di Kabupaten Toba.
  6. Mendesak Polisi Resort (Polrest) Toba dan Polisi Daerah (Polda) Sumatera Utara untuk segera mengusut tuntas Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pihak PT TPL kepada Masyarakat Adat Natumingka.
  7. Menolak penunjukan kawasan hutan negara secara sepihak di wilayah adat.
  8. Mendorong proses pengakuan masyarakat adat di Toba dengan berpedoman pada Sejarah dan Wilayah Adat
  9. Mendesak Pemerintah Daerah Toba untuk menghentikan aktivitas TPL di wilayah adat.
  10. Menolak segala bentuk kerja sama dengan perusahaan yang merusak lingkungan, seperti Toba Pulp Lestari (TPL)
  11. Mendorong Pemerintah Desa untuk terlibat dalam proses pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Toba. 

***

Kontorversi Kawasan Suaka Margasatwa Dolok Surungan

Kawasan Suaka Margasatwa Dolok Surungan sebuah kawasasan seluas 23.800 Ha yang di klaim pihak Kehutanan sebagai kawasan Suaka Margasatwa tepatnya di Desa Meranti Timur Kecamatan Pintu Pohan Meranti, Kabupaten Toba Samosir. Sudah sejak lama menimbulkan kontroversi di masyarakat adat Sigalapang yang dimana wilayah adat mereka masuk ke dalam Kawasan Suaka Margasatwa Dolok Surungan yang diklaim pihak Kehutanan dan pengunaan nama Dolok Surungan yang menimbulkan kontroversi. Hal ini menjadi ancaman terhadap kedaulatan wilayah adat masyarakat adat Sigalapang yang dimana sudah menjadi rumah bagi mereka dan sudah mereka kelola sebagai sumber-sumber kehidupan seperti bertani padi, jagung dan jengkol sejak ratusaan tahun yang lalu.

Masyarakat adat Sigalapang terusik dengan klaim pihak Kehutanan yang menyatakan wilayah adat mereka masuk dalam Kawasan Suaka Margasatwa Dolok Surungan yang pastinya akan mengusur mereka dari tanah adatnya. Awal Permasalah ini bermula ketika Pemerintahan melalui Departemen Kehutanan pada tahun 1974 menentapkan wilayah adat Sigalapang masuk ke dalam Suaka Margasatwa yang diberi nama Suaka Margasatwa Dolok Surungan seluas 23.800 Ha. Masyarakat adat Sigalapang kala itu tidak berani melakukan protes karena rezim Orde Baru yang terkenal otoriter dan tidak segan-segan menggunakan kekerasaan bersenjata. Dalam prosesnya masyarakat adat Sigalapang perlahan-lahan mulai tergusur akibat banyaknya intimidasi dari para Aparat Keamanan kala itu dan masyarakat pun dilarang berladang yang hal ini menimbulkan persoalan ekonomi di masyarakat adat Sigalapang, sebab sumber-sumber kehidupan mereka sudah dirampas dan dijauhkan dari tanah leluhurnya.

Perkampungan Masyarakat Adat Sigalapang 

Berbicara mengenai Dolok Surungan yang  memiliki arti Dolok yaitu Bukit/Gunung dan Surungan yang artinya besar menjadi nama Kawasan Suaka Margasatwa sudah sejak lama mendapat protes dari masyarakat adat Sigalapang. selain karena wilayah adat mereka masuk dalam kawasan tersebut juga nama Dolok Surungan memiliki keterkaitan spritual bagi masyarakat adat Sigalapang khusunya mereka yang menganut Agama Parmalim. Agama Parmalim yang merupakan Agama leluhur masyarakat Batak Toba dalam proses ritualnya memiliki keterkaitan yang erat dan spritual terhadap nama Parsurungan Nabolon.

Dalam proses ritual tersebut disuguhkan berbagai macam persembahan yaitu berbagai macam makanan yang disukai pada zaman dahulu. Ritual ini merupakan untuk menyembah dan memohon kepada Mulajadi Nabolan (Tuhan Yang Maha Besar) melalui roh-roh para leluhur yang diyakini mampu menyampaikan pesan tersebut. Adapun roh yang akan disebut di waktu pelaksanaan ritual adalah “Opung Parsurungan Nabolan”. Parsurungan Nabolon adalah nama yang mempunyai kemampuan untuk menyimpan setiap kejadian yang sudah lampau bahkan yang akan datang atau dalam bahasa Batak Toba disebut “Parsippanan Ni Namasa Dohot Namusim Disandok Liat Portibion”.

Salah Satu Ritual Agama Parmalim yang Masih dilaksanakan Masyarakat Adat Sigalapang Sampai Saat Ini.

 

Melihat dari arti kata tersebut bahwa Nama Parsurungan Nabolon merupakan nama yang tidak boleh diumbar secara sembarangan dan nama yang sangat disakralkan oleh penganut agama Parmalim. Sehinggga dalam penyebutan nama tersebut harus melalui acara ritual yang sah dalam Parmalim. Sehingga harus disediakan persembahan untuk pemilik nama tersebut sebagai tanda penghormatan dan kesrakalan nama tersebut, hal ini dilakukan agar setiap yang hadir dalam acara ritual tersebut dijaga dari segala bencana.

Hal tersebut jelas mendapat tentangan dari masyarakat adat Sigalapang yang dimana masih terdapat banyak penganut Parmalim meskipun sebagian besar sudah masuk Islam dan Kristen akan tetapi nama tersebut tetap disakralkan oleh masyarakat adat Sigalapang.  Pengunaan nama Dolok Surungan yang dibuat oleh Pihak Kehutanan untuk menunjukan kawasan Suaka Margasatwa yang dimana letak pastinya tidak diketahui bahkan oleh masyarakat setempat, karena bagi masyarakat adat Sigalapang sendiri tidak mengenal adanya Dolok Surungan yang di maksud dan pengunaan nama tersebut sudah melecehkan karena tidak menghormati Para penganut Parmalim maupun masyarakat adat Sigalapang sendiri.

Kawasan Suaka Margasatwa Dolok Surungan pun memiliki kontroversi lainya, dimana pasca masayarakat adat Sigalapang dipaksa keluar dari wilayah adatnya perlahan-lahan Kawasan Suaka Margasatwa tersebut berubah rupa dengan masuknya para pengusaha kayu dari asahan yaitu PT. Sumatera untuk mengambil kayu alam yang dimanan terlibat oknum dari Kehutanan dan Aparat Bersenjata yang mendukung para perambah kayu tersebut. setelah kayu alam dari Sigalapang habis dirambah, pada awal tahun 1980-an para Pengusaha perkebunan kelapa sawit dari Asahan yaitu Acun,Suhok,Jebua dan pengusaha lainya diberi izin oleh Pemerintah kala itu untuk masuk dan membuat perkebunan kelapa sawit. Hal ini jelas bertentangan dengan Kawasan Suaka Margasatwa yang dimaksud tadi sebab dalam prosesnya hanya dijadikan topeng untuk dijadikan bisnis oleh para onum-oknum BKSDA (Kehutanan) kala itu untuk meraup untung dari jual beli izin tersebut. Masyarakat adat Sigalapang yang kala itu tidak bisa berkutik sebab Pemerintah Orde Baru tidak segan-segan untuk menindak mereka yang menghalangi investasi para pengusaha dengan penggunaan Aparat Bersenjata kala itu.

Hamparan Perkebunan Kelapa Sawit Milik PT. Nariti yang Berbatasan Langsung Dengan Wilayah Adat Sigalapang.

Pasca Reformasi setelah para pengusaha tersebut perlahan-lahan keluar meninggalkan perkebunan kelapa sawitnya, masyarakat adat Sigalapang berangsur-angsur kembali mengelola tanah adat leluhur mereka yang dimana mereka sempat tergusur sejak tahun 1974. Namun masyarakat adat Sigalapang yang ingin mengelola dan memulihkan kembali tanah leluhur mereka kembali mendapat tentangan dari Pihak Kehutanan melalui BKSDA yang menuduh masyarakat telah melakukan perambahan hutan di Kawasan Suaka Margastwa Dolok Surungan. Hal ini jelas bertentang dari fakta sejarah dan lapangan menginggat hampir semua wilayah yang ada di Desa Meranti Timur sudah berubah rupa menjadi perkebunan kelapa sawit dan faktanya pihak Kehutanan lah yang terlibat beserta para Pengusaha yang melakukan pengerusakan terhadap sumber-sumber daya alam yang ada di wilayah adat Sigalapang. Tindakan represif yang dilakukan oleh Pihak Kehutanan dengan Dukungan Aparat Keamanan (TNI dan Polri) pada tahun Oktober 2015, dimana rumah-rumah yang mereka bangun sebagai tempat tinggal dan membangun kehidupan di bongkar paksa dan ladang-ladang yang sudah mereka tanami dengang padi dan jagung sebagai sumber kehidupan mereka juga tak luput dari pengerusakan semakin membuat masyarakat adat Sigalapang terancam.

Salah Satu Rumah Milik Masyarakat Adat Sigalapang Yang Dirusak Oleh Pihak Kehutanan Dibantu Aparat Keamanan.
Tanaman Padi Masyarakat Adat Sigalapang yang Tidak Luput Dari Pengrusakan.

Tidak berselang beberapa lama pada bulan Februari 2016, 10 orang masyarakat adat Sigalapang ditangkap dan dipenjara dengan vonis masing-masing 8 bulan masa kurungan dengan tuduhan bahwa melakukan perusakan Hutan Suaka Margasatwa Dolok Surungan. Inilah yang dialami oleh masyarakat adat Sigalapang kekerasaan oleh aparat serta intimidasi membayangi kehidupan masyarakat adat Sigalapang. jika menilik dari Sejarah, Kawasan Hutan Suaka Margasatwa yang disebutkan oleh pihak Kehutanan tersebut tidak jelas posisnya dan faktanya masyarakat sudah bermukim dan berladang di Sigalapang sejak ratusan tahun yang lalu jauh sebelum adanya keputusan penetapan kawasan Suaka Margasatwa tersebut.

Sampai saat ini disekitar wilayah adat Sigalapang dikepung oleh lahan perkebunan kelapa sawit milik PT. Ganda Sormin dan PT. Nariti. Hal ini jelas menimbulkan kekhawatiran pada masyarakat adat Sigalapang sebab keberadaan kedua Perusahaan tersebut tidak pernah dipersolakan oleh pihak BKSDA dan menjadi hal yang aneh ketika masyarakat adat yang jelas-jelas memiliki ikatan sejarah serta spritual terhadap tanah leluhurnya, ingin mengelola dan membangun kembali serta memulihkan tanah adat mereka yang telah dirusak oleh oknum-oknum Kehutanan dan korporasi kini selalu dihadapkan pada tindakan-tindakan diskriminatif dan represif dari Pemerintah.

link : https://tanobatak.aman.or.id/?p=288