Hentikan Intimidasi dan Politik Pecah Belah Terhadap Masyarakat Adat Sigalapang

Lagi-lagi oleh pihak KLHK (Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) memperlihatkan arogansi kepada Masyarakat Adat Sigalapang, Desa Meranti Timur, Kec. Pintu Pohan Meranti, Kab. Tobasa, tepatnya pada 28 Agustus 2018, hari Selasa  pagi dengan membawa aparat berseragam tentara dan polisi hanya untuk menancapkan plang kelompok tani yang mereka ciptakan sendiri. hal ini dapat dilihat sebagai upaya dari pihak KLHK untuk melakukan intimidasi dan pecah belah diantara masyarakat dengan membentuk sebuah kelompok tani yang mengatasnamakan masyarakat Sigalapang.

Sudah lama masyarakat adat Sigalapang mengalami perlakuan diskriminatif dan represif dari Negara melalui pengunaan Aparat bersenjata lengkap dan aksi kekerasaan yang sering kali dilakukan oleh Aparat kepada masyarakat adat Sigalapang ketika adanya penolakan dari masyarakat adat Sigalapang terkait kebijakan di wilayah adat Sigalapang. Tahun 70-an oleh pihak Dinas Kehutanan bersama-sama dengan aparat keamanan yang membawa senjata melakukan intimidasi kepada Masyarakat Adat Sigalapang. Dengan tujuan agar warga meninggalkan wilayah adatnya dan dengan alasan bahwa warga bermukim di kawasan Hutan Konservasi . Tidak lama kemudian wilayah adat yang berisi hutan, tanaman pertanian, pemukiman berganti menjadi tanaman sawit milik perusahaan swasta. 

Tahun 2000-an setelah perusahaan pemilik sawit hengkang dari Sigalapang. Oleh pemilik wilayah adat mengusahai lahan dengan bercocok tanam. Tetapi pihak Kehutanan tahun 2016 mempidanakan 10 orang masyarakat adat dengan tuduhan pengrusakan kawasan hutan margasatwa.Setelah berhasil memenjarakan warga, oleh pihak BKSDA juga turut menghancurkan rumah dan pondok milik warga. ini merupakan sebuah bentuk dari arogansi Pihak Kehutanan terhadap masyarakat adat Sigalapang yang jika menilik dari sejarahnya sudah lebih dari 200 tahun hidup dan mengelola wilayah adat Sigalapang jauh sebelum terbentuknya Republik Indonesia dan Kehutanan itu sendiri.

 

Aparat yang dikerahkan oleh Pihak Kehutanan.

 

Padahal jika melihat situasi di Sigalapang, Kawasan Suaka Alam yang disebut oleh pihak Kehutanaan sudah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh para pengusaha-pengusaha yang berlindung di balik izin-izin dari pihak Kehutanan. Masyarakat Adat Sigalapang menuntut agar tanah leluhur mereka kembali kepada mereka sehingga sumber-sumber daya yang dulunya menopang kehidupan mereka serta kelestarian lingkungan wilayah adat mereka dapat dipulihkan kembali oleh masyarakat adat Sigalapang, jangan lagi Pihak Kehutanan melakukan tindakan-tindakan arogan dengan mengerahkan Aparat Keamanan serta melakukan praktek pecah belah diantara masyarakat di Sigalapang. Sudah lama Pihak Kehutanan melakukan modus atas nama hutan konservasi dan Pelestarian Alam namun kenyataanya hutan-hutan tersebut dijadikan ladang bisinis oleh oknum-oknum dari Kehutanan dengan menjual izin kepada para pengusaha untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Oknum-oknum Kehutanan sudah menjadi  mafia lahan/tanah untuk para pengusaha-pengusaha.

Pihak Kehutanan jika memang benar ingin melestarikan Hutan seharusnya bisa mengajak duduk bersama masyarakat adat Sigalapang sebagai pemilik hak ulayat atas tanah adat Sigalapang agar bersama-sama untuk melakukan pelestarian kawasan hutan . karena Jika bicara terkait pelestarian hutan, masyarakat adat Sigalapang yang telah ratusaan tahun mendiami wilayah adat Sigalapang berhasil menjaga kelestarian serta sumber-sumber daya alam di sekitar wilayah Sigalapang berkat pengetahuan tradisonal serta nilai-nilai kearifal lokal yang terus mereka jaga sampai saat ini. Namun oleh pihak Kehutanan sendiri tanpa sepengetahuan dari masyarakat mengklaim secara sepihak tanah adat yang dikelola oleh masyarakat serta adanya pelibatan aparat bersenjata dalam proses negoisasi penyelesaian konflik yang justru menimbulkan keresahaan terhadap masyarakat karena dalam hal ini justru masyarakat semakin merasa terintimidasi terlebih banyaknya kriminalisasi terhadap orang-orang yang memperjuangkan tanah leluhur mereka.

                                       Pihak Kehutananan dan Aparat Keamanan

 

Cara-cara seperti inilah yang tidak di inginkan oleh masyarakat adat Sigalapang terhadap tanah leluhur mereka yang sudah hancur lebur dan dijadikan ladang bisnis oleh oknum-oknum mafia tanah serta pihak Kehutanan. sementara saat masyarakat adat Sigalapang ingin mengelola tanah adatnya, masyarakat langsung dihadapkan pada tuduhan-tuduhan dan fitnah yang keji dan dikriminalisasi dengan tuduhan pengarap liar/perambah hutan. Hal seperti ini yang menyebabkan semakin meluasnya konflik-konflik tenurial khusunya di tanah Batak atau kawasan Danau Toba akibat klaim sepihak dari Dinas Kehutanan terhadap Hutan/Tanah Adat Masyarakat dan proses penetuan kebijakan/program-program Pemerintah di wilayah adat yang tidak melibatkan masyarakat adat itu sendiri sebagai komunitas yang mendiami wilayah tersebut terlibat secara untuk partisipatif dan aktif dalam menentukan model pembangunan/kebijakan yang tepat atas wilayah adat mereka.

Pertanyaannya adalah kenapa perlakuan pada tahun 70-an persis sama terjadi dengan sekarang?
Dimana peran Nawacita yang digembar-gemborkan oleh Pemerintahaan Saat ini?

Plang yang Dibuat Oleh Pihak Kehutanan mengenai Pemulihan Ekosistem Kawasan Konservasi yang bermitra dengan Kelompok Tani Nauli.

 

Link : https://tanobatak.aman.or.id/?p=176

 

Ilusi Kemerdekaan di Tanah Leluhur

Gegap gempita Peringatan Hari Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia mulai dari pelosok desa-desa sampai kota-kota besar mulai tampak terlihat. Pegibaran Bendera Merah Putih di tiap-tiap rumah, hiasan-hiasan serta kegiatan atau acara-acara sudah menjadi tradisi dari tahun ke tahun untuk memeriahkan Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus, masyarakat Indonesia larut dalam efouria perayaan Kemerdekaan.

Semangat Kemerdekaan itu juga dirasakan oleh masyarakat adat Sihaporas keturunan Ompu Mamotang Laut Ambarita. Hal ini diwujudkan masyarakat adat Sihaporas dengan melaksanakan Upacara Kemerdekaan di tanah adat mereka. tepatnya hari 17 Agustus 2018, masyarakat adat Sihaporas dengan berpakaian adat Batak Toba lengkap dan dengan antusias melaksanakan Upacara Peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 73. Memakai pakai adat ini dilakukan sebagai wujud dari menunjukan rasa bangga akan Identitas aslinya sebagai masyarakat adat Batak Toba.

Upacara berjalan khitmad dan tampak masyarakat adat Sihaporas sangat menghayati setiap momen dalam Upacara tersebut . Hal ini dilakukan masyarakat adat Sihaporas Keturunan Ompu Mamotang Laut Ambarita sebagai bentuk dari rasa cinta kepada tanah air Indonesia. Bagaimanpun juga masyarakat adat Sihaporas merupakan bagian dari Indonesia dan juga para leluhur atau pendahulu dari masyarakat adat Sihaporas ikut juga mengangkat senjata dan bertumpah darah dalam merebut kemerdekaan Indonesia.

Namun saat ini nilai-nilai Kemerdekaan yang dirasakan oleh masyarakat adat Sihaporas dan juga masyarakat adat lainya di seluruh Nusantara masih hanya seperti perayaan seromonial saja. Meskipun Negara Republik Indonesia telah merdeka selama 73, akan tetapi nilai-nilai Kemerdekaan sesungguhnya belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat terkhusunsya masyarakat adat.

Konflik-konflik kian menyebar di wilayah adat antara masyarakat adat dan Perusahaan/ Negara dan kriminalisasi aparat keamanan terhadap masyarakat adat serta tuduhan-tuduhan yang memberatkan masyarakat adat masih kerap dilakukan. Di kawasan Danau Toba sendiri, konflik-konflik terkait wilayah adat semakin meluas Seperti yang dialami oleh Masyarakat adat Sihaporas dan masyarakat adat Batak lainya kini sedang menghadapi ancaman nyata di wilayah adatnya.

Eksploitasi sumber daya dan Ekspansi lahan-lahan perkebunan Perusahaan di wilayah adat mereka menjadi salah satu ancaman yang nyata dirasakan oleh masyarakat adat Sihaporas. Hutan-hutan yang berada di wilayah adat mereka yang telah mereka jaga dan lestarikan sebagai sumber kehidupan dan untuk upacara-upacara adat kini nyaris habis berganti rupa menjadai lahan-lahan perkebunan ekauliptus milik PT. Toba Pulp Lestari. Masyarakat adat Sihaporas seperti masih terkukung dan terjajah di tanah air mereka sendiri, tidak ada kebebasan untuk mengelola wilayah adat mereka, kerap dihadapkan pada intimidasi baik dari pihak Perusahaan dan Aparat Keamanan yang disewa oleh Perusahaan, penghancuran situs-situs sejarah milik masyarakat adat sampai banyaknya masyarakat adat yang di penjara dan diburu seperti pelaku kriminal karena mempertahankan wilayah adatnya dari tangan-tangan Penguasa dan Investor yang rakus.

Hal yang serupa yang dirasakan oleh hampir semua masyarakat adat yang ada di Nusantara. Belum lagi stigma terhadap masyarakat adat yang menggangap bahwa masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang primitif dan terbelakang, padahal jika kita menilik lebih jauh masyarakat adat sudah hidup dengan kearifal lokal dan pengetahuan tradisonalnya yang berhasil untuk menjaga sumber daya alam serta keharmonisan hidup dalam dengan alam. Namun saat ini Pemerintah justru seoalah-olah memberikan ruang para investor merusak dan menghancurkan alam serta peradabaan yang telah dibangun sejak dulu kala.

Tidak ada kemerdekaan sesunggunya yang dirasakan masyarakat adat, masyarakat adat masih hidup dalam bayang-bayang penjajahan di tanah air sendiri dan oleh Negara sendiri. Masyarakat adat yang sudah ratusaan bahkan ribuaan tahun hidup dan membangun peradabaan di Nusantara mengakui Negara bahkan mencintainya namun sebaliknya pengakuan serta penghormataan terhadap masyarakat adat belum sepenuhnya dilakukan oleh Negara. Sudah saatnya masyarakat adat diberi kebebasan untuk menentukan pembangunan yang tepat terkait wilayah adatnya. Masyarakat adat bukan menghambat pembangunan namun perlu digaris bawahi adalah Perlunya Pengakuan dan Perlindungan Terhadap Masyarakat Adat sehingga masyarakat adat dapat menentukan model pembangunan apa yang layak untuk masyarakat adat itu sendiri.

Melalui Momentum Peringatan Hari Kemerdekaan ini dijadikan masyarakat adat Sihaporas untuk mereflesikan kembali nilai-nilai kemerdekaan yang sesungguhnya. Bagaimana seperti yang disampaikan oleh Pembina Upacara Magitua Ambarita, bahwa sudah saatnya masyarakat adat bangkit dan terus berjuang untuk mempertahankan wilayah adatnya terkhusunya di Sihaporas sebagaimana para leluhur atau pendahulu kita merebut dan mempertahankan Kemerdekaan dari penjajahan bangsa asing.

Perjuangan Panjang untuk merebut kemerdekaan masyarakat adat mungkin masih berliku, ditengah kepungan arus moderinitas dan investasi serta eksploitasi masif sumber-sumber daya alam khusunya di wilayah adat hingga stigma buruk serta krimanilisasi dan tindakan represift aparat keamanan menjadi masalah yang terus menerus dihadapkan pada masyarakat adat namun sudah saatnya Pemerintah baik mulai dari tingkat Pusat sampai Pemerintah Daerah untuk segera Mengakui dan Melindungi Masyarakat Adat sebagai bagian dari bangsa Indonesia itu sendiri sehingga masyarakat adat bisa merasakan kemerdekaan yang sesunggunya di tanah leluhur mereka.

Horas !!!

Hidup Perjuangan Masyarakat Adat !!!

Dok : ALIANSI MASYRAKAT ADAT NUSANTARA WIL. TANO BATAK