BeritaBudayaSimalungun

Penghormatan Masyarakat Adat Sihaporas Kepada Leluhur dan Alam Melalui Ritual Adat Manganjab

 

Oleh: Hengky Manalu

Pada kalender Batak di hari Sihori Purasa, atau dalam kalender Masehi pada bulan Mei, merupakan waktu pelaksanaan ritual adat Manganjab bagi keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita di Nagori (Desa) Sihaporas, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

Setelah tiba di Lumban Ambarita, salah satu kampung di Sihaporas, Saul Ambarita seorang tetua adat di Sihaporas, sedang menyiapkan sajian ihan Batak (sejenis ikan Jurung) yang diikat dengan daun lalang, menutupi seluruh badan ikan seperti jaring, lalu dimasukkan ke dalam kuali berisi air panas dan di rebus. “Ikan ini kami dapat dari pasar di Parapat, Kab. Simalungun, karena di sini sudah jarang ditemukan, besok ikan ini akan dipersembahkan dalam ritual  Manganjab. Ucap Ambarita.

Saul Ambarita, tetua adat Sihaporas yang bertugas untuk mempersiapkan Ihan Batak (Jurung) untuk acara Ritual Manganjab. Foto: Hengky/Sopo Tano Batak, 2024.

 

Pagi hari, 22 Mei 2024 sekitar pukul 09.00 WIB, warga Sihaporas sudah berkumpul di Jabu Balga (Rumah Batak), bersiap-siap untuk berangkat Mamulung, istilah bahasa lokal yang berarti, mengambil bahan-bahan kebutuhan ritual. Ompu Tristan Ambarita, tetua adat Sihaporas, yang terbiasa memimpin warga mempersiapkan bahan-bahan ritual, dia membagi secarik kertas yang bertulis kan, bahan-bahan yang akan di ambil. “Sebelum berangkat setiap orang diharuskan untuk Manguras, atau membersihkan diri dengan air jeruk purut yang sudah tersedia dalam cawan putih ini, supaya bahan-bahan yang diambil nanti suci. Tanaman akan di ambil ke ladang, ke sungai dan ke hutan.  Kata Ompu Tristan Ambarita.

Dalam pelaksanaan Ritual Adat Manganjab, semua bahan-bahan untuk kebutuhannya di ambil dari Atas Wilayah Adat Sihaporas. Mereka sudah terbiasa dengan bahan-bahan alami yang didapat langsung dari hutan, ladang, sungai, kecuali ketika tidak ditemukan lagi di Sihaporas maka terpaksa  di cari keluar kampung. Bahan-bahan tersebut nantinya akan dikumpulkan bersamaan, lalu didoakan oleh tetua adat, kemudian di makan bersama dan ada juga untuk obat yang akan di pasang di ladang. “Ritual ini harus mulai, pas setelah matahari naik, biasanya di Jam 11.00 WIB, karena pada saat itulah waktu terbaik untuk menyampaikan permohonan melalui doa-doa di ritual nanti”. Ucap Ompu Tristan.

Tradisi Manganjab

Tidak terlalu jauh dari Lumban Ambarita, kami berjalan menuju tempat ritual adat dilangsungkan, dengan melewati sungai yang dibendung menjadi kolam, masyarakat Sihaporas menyebutnya Bombongan na Bolon (sumber mata air/kolam). Dari kejauhan, terlihat beberapa orang  meyibukkan diri, ada yang memotong kambing, membuat altar tempat se sajian, dan ada yang berangsur-angsur datang membawa Pulungan (bahan-bahan ritual) yang tadi pagi diberangkatkan untuk Mamulung.

Tempat ritual itu, mereka sebut Sidogordogor, berada di bukit  yang cukup tinggi, sehingga bisa melihat jelas hamparan ladang yang luas dan kampung Lumban Ambarita.  Setelah tiba di atas, kami bertemu dengan seorang tetua adat Sihaporas. Nama kecilnya Mangitua Ambarita, namun setelah beliau punya cucu, orang kampung telah memanggilnya dengan Ompu Morris Ambarita, karena nama cucunya dari anak pertama  adalah Morris Ambarita.

Disela persiapan ritual, kami berkesempatan bercerita dengan beliau. Di usianya yang senja, beliau masih bertanggung jawab memimpin, setiap kali ritual dilakukan di Masyarakat Adat Sihaporas, salah satunya adalah Ritual Adat Manganjab, tradisi yang sudah ratusan tahun dilakukan oleh Masyarakat Adat di Sihaporas.

Ompu Morris Ambarita bersama dengan warga Sihaporas yang lain sedang mempersiapkan bahan-bahan untuk kelangsungan ritual adat. Foto:Hengky/Sopo Tano Batak, 2024.

Ompu Morris Ambarita, menyakini “bahwa melalui Ritual adat ini, kami memohon kesuburan tanah dan keberhasilan tanaman pertanian, kepada Ompu Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Kuasa), juga kepada Boras Pati ni Tano (Roh leluhur yang ada di tanah). Dengan harapan, hasil pertanian kita diberkati dan tanah kita subur, sehingga kita mendapatkan hasil pertanian yang melimpah. Keyakinan kami tanaman itu punya roh, maka melalui ritual ini, kami memohon kepada roh tanaman, agar tumbuh dengan baik dan dijauhkan dari segala hama, begitu juga dengan kami masyarakat yang ada di sini agar dijauhkan dari segala penyakit”. Ucap Ompu Morris.

Ritual ini merupakan warisan dari Ompu Mamontang Laut Ambarita, leluhur pembuka kampung Sihaporas, yang setiap tahunnya selalu dilaksanakan oleh Masyarakat Adat Sihaporas. Dalam pelaksanaannya berbagai se sajian dipersembahkan dalam upacara ini, seperti kambing putih, ayam merah, ayam putih, ayam Jarum bosi, Ihan Batak (Ikan Jurung), Ikan Haporas (Ikan sejenis Pora-pora), Itak Putih (olahan tepung mentah), Pangurason (Air jeruk Purut). “Kambing putih sebagai bentuk permintaan berkat kepada Ompu Mula Jadi Nabolon, Raja Uti, Raja Sisingamangaraja, Namboru Natinjo Nabolon, Boras pati ni Tano, Habonaran ni Huta (roh leluhur penjaga kampung), agar apa yang kami mohonkan dapat dikabulkan”. Kata Ompu Morris Ambarita.

Masyarakat adat Sihaporas menyampaikan permohonan melalui doa untuk kesuburan tanaman dan kesehatan di Ritual Adat Manganjab. Foto: Hengky/Sopo Tano Batak, 2024.

Menurut Thomson Hutasoit, seorang Budayawan Batak menyampaikan, bahwa kata Anjab masih digunakan di Simalungun dan Karo, namun di dalam bahasa Toba jarang di temukan. Lebih lanjut Hutasoit menyampaikan kata Anjab di bahasa Toba merupakan bahasa arkaif atau bahasa Proto-Batak yang digunakan dahulu jauh sebelum bahasa batak Toba yang sekarang, sehingga bahasa tersebut memiliki persamaan dengan Batak Karo dan Simalungun, yang memiliki arti Pantarpantar Pamelean (altar persembahan). Ucap Hutasoit saat dikonfirmasi melalui telepon Seluler.

Lebih lanjut Hutasoit menyampaikan “ritual yang memakai atau menggunakan Pantarpantar (altar), kemudian digunakan menjadi kata kerja yaitu, Manganjab yang bisa diartikan, membuat persembahan di sebuah altar yang di lengkapi dengan hiasan Maremare (hiasan dari daun pohon aren), dengan bentuk persegi empat atau berbentuk segitiga, dalam bahasa lokal di ungkapkan arti Manganjab merupakan “Mambaen pelean di anjab (Pantarpantar pamelean, marmaremare, adong na opat suhi, adong na tolu suhi”. Ritual ini biasanya dilakukan di adaran (hamparan tanah yang luas/berbukit) yang diyakini sebagai tempat para leluhur. Ucap Hutasoit

Menjaga alam dengan merawat hubungan kepada Luhur

Setelah doa-doa disampaikan oleh Ompu Morris Ambarita, seorang perempuan yang sudah lanjut usia duduk di tikar (lage-lage tiar) yang terbuat dari anyaman bayon (sejenis daun pandan). Lalu seseorang memakaikan nya pakaian adat, gelang, gotong (ikat kepala dari ulos batak) dan menyerahkan sebilah pisau yang terbungkus rapi. Kemudian para tetua adat menyapa dengan “Horas Ompung”.

Perempuan tersebut adalah Ompu Rosna Boru Bakkara, yang badannya menjadi tempat trans dari Ompu Mamontang Laut Ambarita. Secara bergantian, masyarakat adat Sihaporas meminta nasihat kepada Ompung itu, lalu Ompung itu menyuapkan makanan kepada masyarakat adat sihaporas, secara bergiliran. Tidak luput ramuan obat untuk tanaman yang telah disiapkan juga di doakan. Setelahnya, hidangan makanan yang di olah secara tradisional itu, disantap bersama oleh seluruh masyarakat adat Sihaporas.

Masyarakat Adat Sihaporas meminta nasihat dari leluhur di Ritual Adat Manganjab. Foto: Hengky/Sopo Tano Batak, 2024.

Ritual adat diakhiri dengan membagi ramuan obat yang telah didoakan, untuk dipasang di ladang masing-masing. Seorang pria paruh baya warga Sihaporas, Thomson Ambarita, menyampaikan kepada seluruh warga, agar memasang obat tersebut di ladang masing-masing. Mereka menyebutnya Mangase-Ase dalam bahasa batak. Setelahnya, warga Sihaporas juga harus melakukan puasa (Robu), dengan tidak beraktivitas di ladang selam 3 hari, dan juga ke hutan selama 3 hari. Menurut Thomson Ambarita, pada saat Robu para leluhur akan hadir di ladang dan di hutan untuk membersihkan segala penyakit dan memulihkan tanah, begitu juga Hutan.

Makna dari tradisi ritual adat bagi masyarakat sihaporas merupakan hal yang penting untuk ditanamkan di kehidupan sehari hari, seperti yang dialami oleh perempuan adat sihaporas Rosmawati Boru Ambarita. Beliau lahir pada tahun 1949 dan tinggal sihaporas, sampai saat ini. Rosmawati mengisahkan pengalaman hidupnya selama tinggal di Sihaporas. Dia adalah keturunan ke 8 dari leluhur Ompu Mamontang Laut Ambarita yang sudah berusia 75 tahun. “Ritual adat ini merupakan rutinitas bagi kami, setiap aktivitas dalam mengelola tanah, termasuk bertani, membangun rumah, dan segala kegiatan lainnya pasti akan ada ritualnya sesuai dengan aturan adat. Tutur Romawati.

Tradisi Manganjab adalah jalan menyampaikan doa dan harapan supaya masyarakat adat sihaporas selalu dilindungi leluhur, diberi kesejahteraan dan dijauhkan dari segala penyakit maupun dari mara bahaya. Sesuai dengan pesan leluhur Ompu Mamontang Laut Ambarita, tradisi yang diwariskan harus dilestarikan oleh keturunannya dan ditanamkan kepada generasi sepanjang masa di huta Sihaporas. Ucap Rosmawati.

Hutan hilang, ritual adat terancam

Risnan Ambarita, seorang pemuda Sihaporas, yang selama ini menyibukkan dirinya mengajari anak-anak di Sihaporas tentang pengetahuan tradisi leluhur mereka. Disela aktivitasnya sebagai seorang petani, setiap hari minggu dia mengumpulkan anak-anak untuk belajar dan bermain. Mereka saling berbagi apa pun tentang sejarah leluhur, tanaman yang ada di atas wilayah adat, serta permainan tradisional anak-anak.

Namun risnan resah melihat situasi yang mereka alami di Sihaporas, dia bercerita, sudah sejak tahun 1998 perjuangan keturunan Ompu Mamontang Luat Ambarita di Sihaporas, agar tanah adat  mereka diakui oleh pemerintah, namun sampai hari ini, belum juga mereka dapatkan. Dia ingat persis bagaimana dulu ayahnya, dipercayakan menjadi ketua Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita, untuk memimpin perjuangan pengembalian tanah adat tersebut. Sampai saat ini, ayahnya sudah berganti dan sudah menua di makan usia, perjuangan mereka belum juga mendapat hasil yang berarti.

Mereka dihadapkan dengan ekspansi industri ekstraktif di atas tanah adatnya, semenjak PT. Toba Pulp Lestari hadir di atas tanah adat mereka, berangsur-angsur hutan mereka yang dahulunya lebat telah berganti menjadi tanaman monokultur pohon ekaliptus. Menurut Risnan, kehadiran perusahaan itu, membawa dampak yang merugikan bagi masyarakat adat di Sihaporas. Kehadiran perusahaan tersebut juga tidak pernah mereka ketahui, sementara tanah mereka tidak bisa dikelola, aktivitas perusahaan juga membawa dampak buruk, seperti sumber air bersih, saat musim kering, air bersih akan sulit mereka dapatkan, sementara kalau musim hujan, air akan menjadi sangat kotor. Tutur Risnan.

Saat melakukan ritual adat seperti ini, kami sudah kewalahan untuk mengambil bahan-bahan dari hutan, karena hutan sudah tidak ada lagi, yang ada hanya hutan ekaliptus. Terpaksalah kami harus keluar kampung, untuk mencari bahan-bahan yang diperlukan. Padahal, bahan untuk ritual ini kan tidak bisa sembarangan, harus memang benar-benar bersih. Kata Risnan.

Wilayah adat Sihaporas, sebagian besar sudah ditanami ekaliptus oleh PT. Toba Pulp Lestari. Foto: Hengky/Sopo Tano Batak, 2024.

Doni Munte, selaku Biro Advokasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, menyampaikan, telah banyak upaya yang di lakukan oleh Masyarakat Adat Sihaporas, untuk mendapatkan kembali hak atas tanah adat mereka, namun pemerintah masih mementingkan investasi yang tidak berpihak kepada masyarakat adat, terutama kepada lingkungan. Sementara masyarakat adat yang menuntut haknya mendapat intimidasi dan kriminalisasi oleh aparat keamanan. Semenjak tahun 2002-2024, 5 orang masyarakat adat Sihaporas telah dipenjara, karena mempertahankan haknya, baru-baru ini juga ada 5 orang warga Sihaporas yang di panggil-panggil polisi, karena berusaha menghentikan aktivitas perusahaan di atas tanah adat mereka.

Sudah seharusnya negara memikirkan ulang kehadiran investasi itu, karena sudah terlalu banyak dampak buruk yang dirasakan oleh masyarakat adat di tano batak. Pemerintah jangan sampai lupa mengakomodir kepentingan masyarakat nya, karena pada prinsipnya kehadiran negara adalah untuk melindungi warga negaranya, bukan perusahaan yang justru merusak alam dan lindungan. Ucap Doni.

***

Penulis adalah Biro Organisasi Kaderisasi dan Keanggotaan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak

tanobatak

Sebuah organisasi masyarakat adat yang ada di daerah Tanah Batak Sumatera Utara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *