Budaya

Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara: Merayakan Perlawanan Atas Ketidakadilan

Dua dekade Silam tepatnya pada tanggal 17 Maret 1999 , Para pengiat dan pejuang hak-hak masyarakat adat dan Tokoh-tokoh adat serta beberapa komunitas adat berkumpul di Jakarta untuk membangun sebuah solidaritas dan merumuskan serta membentuk sebuah organisasi perjuangan masyarakat  adat yang dikenal dengan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara). AMAN menjadi wadah penyatuaan solidaritas dan perjuangan masyarakat dalam rangka mewujudkan cita-cita masyarakat adat Nusantarayang mandiri,bermartabaat dan berdaulat.  Tanggal 17 Maret menjadi sebuah tongak sejarah bagi perjuangan masyarakat adat di Nusantara dan ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara serta Hari Jadi AMAN.

Sejak Berdiri AMAN sampai saat ini AMAN telah memiliki lebih dari 2.366 ribu Komunitas Adat yang tersebar di penjuru Nusantara dengan total anggota masyarakat adat lebih dari 17 Juta Jiwa .  AMAN sebagai sebuah Organasisi Perjuangan Masyarakat Adat terbesar di Dunia. Secara Nasional AMAN telah berhasil menggugat UU No. 41 Kehutunan yang dimana salah satunya pasalnya menyatakan “ Hutan Adat adalah Hutan Negara yang berada dalam wilayah hutan Negara”.  salah satu pasal yang menyebabkan keberadaan masyarakat adat secara Posisi Hukum Nasional atau posisi masyarakat adat dalam kerangka Republik ini sangat terancam. Keberhasilan AMAN dalam menggugat UU tersebut melahirkan sebuah keputusan MK No. 35 tahun 2012 yang menyatakan “ Hutan Adat Bukan Lagi Hutan Negara”.  meskipun dalam prosesnya diperlukan PERDA untuk menindaklanjuti keputusan tersebut namun hal ini merupakan sebuah terobosan besar menggingat sejak era Republik Indonesia terbentuk posisi masyarakat adat dalam kerangka hukum dan kebijakan Nasional sangatlah terancam. AMAN juga berperan aktif dalam proses advokasi hak-hak masyarakat adat Nusantara serta penguatan masyarakat adat baik dalam sosial,budaya,ekonomi dan politik.  Dalam partisipasi politik AMAN juga telah berhasil mengutus kader-kader masyarakat adat baik di Legislatif maupun Eksekutif mulai dari tingkat desa sampai nasional untuk memastikan kebijakan-kebijakan dapat memihak masyarakat adat.

Pada tahun 2014 sebelum terpilih menjadi Presiden, Jokowi saat itu melakukan kontrak politik dengan AMAN. Ada 6 butir kontrak politik yang disepakati kala itu yang dimana kontrak politiknya tersebut dituangakan dalam Nawacitanya Jokowi. Salah satunya bagian dari kontrak politk itu seperti RUU Masyarakat Adat dan Pengembalian Tanah Adat ke Masyarakat Adat sebanyak 12 Juta Hektar masih jauh panggang dari api. Meskipun saat ini 23.000 Hektar Wilayah adat sudah dikembalikan kepada masyarakat adat namun angka itu masih jauh dari janji 12 juta hektar dan RUU Masyarakat Adat saat ini terhambat prosesnya di DPR akibat DIM yang belum diserahkan oleh Pemerintahan Jokowi sebagai syarat agar bisa dilakukan pembahasaan oleh DPR. Sampai saat ini 6 butir kontrak politik Jokowi dengan AMAN belum ada satupun terpenuhi.

Dibalik hikmah tersebut bagaimana janji kepada masyarakat adat hanyalah angin surga semata, masyarakat adat harus  tetap berjuang lebih keras lagi untuk memutuskan  nasib masyarakat adat sendiri dengan salah satunya merebut ruang-ruang pengambil kebijakan baik Skala Nasional maupun Daerah agar masyarakat adat tidak lagi dipandang sebelah mata oleh Negara dan memastikan kebijakan yang dibuat tidak membuat masyarakat adat dan wilayah adat menjadi objek eksploitasi dari  Modal dan Negara.

AKSI MASYARAKAT ADAT TANO BATAK DALAM MEMPERINGATI HARI KEBANGKITAN MASYARAKAT ADAT NUSANTARA DAN HARI JADI AMAN 

Dalam rangka memperingati hari kebangkitan masyarakat adat Nusantara tersebut, Sejumlah  Komunitas masyarakat adat yang tergabung dalam AMAN Tano Batak melakukan aksi pemasangan Plank di atas wilayah adatnya yang sedang menjadi konflik  dengan Perusahaan maupun Pemerintah.

Pada Minggu Sore kemarin, puluhaan masyarakat adat Tornauli melakukan aksi dengan semangat yang membara baik tua muda membentangkan spanduk dan pemasang plang di atas tanah yang kini berhasil diduduki oleh masyarakat adat Tornauli, dimana tanah adat tersebut selama ini dikuasai oleh PT. Toba Pulp Lestari. Dengan semangat baik tua muda maupun pria dan perempuan dengan semangat yang mengelora menuju lokasi tanah adat.

Dalam aksinya masyarakat adat Tornauli membentangkan Spanduk yang berisi sebuah “ultimatum”  agar menghentikan segala bentuk Pengahacuran Wilayah Adat serta Hutan Adat yang dilakukan oleh Perusahaan maupun Pemerintah.Masyarakat adat Tornauli juga menyampaikan pernyataan sikap tegas  yaitu agar segera di Sahkanya RUU Masyarakat Adat dan PERDA pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Di Tapanuli Utara. Masyarakat adat Tornauli juga melalui salah satu tokoh adatnya Pantur Manalu menyatakan “ Kami masyarakat adat Tornauli menolak setiap usaha atau tindakan yang akan mengahancurkan wilayah adat kami”  . keberadaan PT. Toba Pulp Lestari yang sudah sejak tahun 1987 yang dulunya bernama PT. Inti Indorayon Utama. Keberadaan PT. TPL dan aktivitas mereka yang semakin masif di Wilayah adat Tornauli membuat Hutan Kemenyan,Sungai maupun Sawah mereka sudah hancur akibat aktivitas perusahaan yang tidak menghormati keberadaan masyarakat lokal yang sudah hidup dan membangun peradabaan di wilayah adat Tornauli tersebut. Hutan kemenyan yang menjadi sumber pendapatan masyarakat adat Tornauli kini semakin menyusut dan terancam habis akibat ekspansi lahan yang dilakukan oleh perusahaan.

Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua BPH AMAN Wilayah Tano Batak, Roganda Simanjuntak, “Perayaan dua dekade Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara, semakin meneguhkan cita-cita Masyarakat Adat di Nusantara untuk berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. Khususnya di wilayah Tano Batak, perayaan ini momentum untuk peneguhan perjuangan wilayah-wilayah adat yang bebas dari penghancuran, perampasan. Karena dampak yg kita rasakan saat ini akibat kesalahan orang lain (pemerintah dan investor) di masa lalu dan hingga sekarang, terjadinya krisis peradaban. Kemiskinan melanda penghuni huta, akibat kesulitan akses terhadap ruang kelola. Korban dari pencemaran/kerusakan lingkungan dari hadirnya perusahaan. Harta Warisan yang tidak ternilai dari leluhur yang dititipkan lintas generasi perlahan mulai habis dan hancur.”

Hal serupa juga dirasakan oleh masyarakat adat lainya di tano batak seperti yang dimana sedang berkonflik dengan Perusahaan dan  Klaim Hutan Negara melalui penunjukan kawasan Hutan Negara yang dilakukan oleh Kementrian Kehutanan tanpa menghargai keberadaan masyarakat adat yang sudah lebih dulu bermukim di atas wilayah adat tersebut jauh sebelum bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk.

Persoalan penghancuran ruang-ruang hidup serta pencemaran lingkungan juga menjadi masalah utama yang sedang dihadapi masyarakat adat, seperti masyarakat adat Sihaporas di Kabupaten Simalungun dimana sumber mata air yang menjadi penopang kebutuhan sehari-hari mereka serta hutan-hutan serta sungai yang  merupakan sumber untuk keperluaan ritual adat yang masih dilaksanakan  mereka kini nyaris habis akibat aktivitas perusahaan yang tidak menghargai keberadaan masyarakat adat Sihaporas. Ikan Endemik Ihan Batak serta biota sungai lainya banyak yang mati dan nyaris punah akibat pembuangan limbah beracun pestisida secara sembarangan oleh para perusahaan. Dampak yang timbulkan jelas sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat sekitar dan juga keseimbangan ekosistem yang selama ini terjaga oleh nilai kearifan lokal masyarakat adat Sihaporas kini.

Sejarah panjang penjajahaan serta penaklukan  terhadap masyarakat adat sejak era kolonial sampai saat ini membuat masyarakat adat kian terancam keberadaanya.  Saat era kolonialisasi ketika itu, masyarakat adat telah dihancurkan tatanan sosial ,sejarah, lembaga adat,hukum adat dan budaya serta di jauhkan dari hubungan mereka dengan tanah leluhurnya. Pasca era Kolonial setelah Indonesia merdeka sampai saat ini praktik-praktik penghancuran masyarakat adat dan wilayah adat warisan kolonial tersebut secara masif dan terstruktur tetap dijalankan oleh Negara. Di era Orde Baru masyarakat adat dibungkam oleh Otoriter dan Penggunaan Militer. Sehingga suara-suara protes serta perjuangan masyarakat adat kala itu sering disambut dengan penggunaan aparat bersenjata yang sangat intimidatif dan kejam. Sehingga hutan,sungai dan ruang-ruang produktif seperti sawah dan ladang seketika berubah menjadi hamparan perkebunan ataupun tambang pertambangan perusahaan.

Sampai saat ini juga meskipun era kekuasaaan dan zaman telah berganti,  Masyarakat adat juga masih kerap diperlakukan diskriminatif dengan sebutan-sebutan yang menyakitkan seperti Orang Tertinggal,Orang Primitif, Peladang Liar banyak lagi penyebutan untuk masyarakat adat yang sudah lebih dahulu memiliki budaya dan membangun kehidupan jauh sebelum Indonesia ada. Parahnya lagi Setelah diperlakukan Diskirmintaif wilayah adat masyarakat adat pun dijarah dan dirampas hasil kekayaan alamnya. Belum lagi tindakan respresif dari Aparat Keamanan/Bersenjata yang dimana masyarakat adat banyak dikriminalisasi, diburu bahkan dibunuh karena menolak keberadaan Korporasi serta memperjuangakan tanah leluhurnya. Di Tanah Batak Sendiri banyak dari anggota komunitas seperti Sihaporas, Matio,Sigalapang, Pandumaan Sipitu Huta dan sejumlah komunitas masyarakat adat lainya banyak yang dikriminalisasi dan dipenjara karena mempertahankan tanah leluhurnya dari usaha-usaha eksploitasi masif perusahaan dan Negara di atas wilayah adatnya.

Praktek-praktek tersebut pun masih berlangsung hingga saat ini belum ada perubahaan yang signifikan terhadap proses pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat serta wilayah adatnya oleh Negara. Sungguh menjadi kenyataan yang sangat ironis mengingat bangsa yang beranekragram budaya serta istiadanya ini dan slogan-slogan budaya serta pakain adat yang dibangga-banggkan oleh Penguasa Negeri ini hanya komoditas jualan semata,dalam praktiknya pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat sangatlah tinggi.

Dalam proyek-proyek Nasional baik berupa Infrastruktur Negara seperti pembangunan Bandar Udara, Proyek Jalan Tol, Pembangunan Kawasan Industri, Reklamasi, PLTA dan lain sebagainya kerap mengorbankan masyarakat adat. Masyarakat adat selalu menjadi objek dari pengusuran yang dilakukan Negara atas nama pembangunan dan kemajuaan. Wilayah-wilayah adat dikeruk hasil alamnya dan dihancurkan situs-situs sejarahnya. Sebuah “ Penjajahan 4.0” di zaman modernisasi saat ini. Pembangunan maupun sebuah kebijakan di atas wilayah adat tidak pernah melibatkan masyarakat adat secara aktif dan partisipatif, Negara cenderung menggangap masyarakat adat tidak ada, abai terhadap kearifan lokal serta nilai-nilai luhur masyarakat adat. Jika ditelusuri jauh sebelum Negara ada Masyarakat Adat sudah membangun peradabaan baik itu tatanan sosial, sistem pemerintahan maupun hukum-hukum adat yang dipakai masyarakat adat.

Di Tanah Batak sendiri Kehadiran perusahaan PT.Toba Pulp Lestari,Aquafram dan perusahaan lain di sekitar kawasan Danau Toba serta maraknya ilegal loging yang dilakukan atas kongkalikong Aparat Pemerintah dengan Perusahaan menjadi penyumbang terbesar kehancuran wilayah adat di Tanah Batak.

Tanah-tanah adat yang seharunsya dapat dikelola secara kolektif demi kehidupan masyarakat adat banyak terpenjara akibat regulasi atau kebijakan Pemerintah yang cenderung memihak Korporasi dan modal. Tanah sebagai Identitas dari masyarakat adat Batak Toba, tidak bisa dilepaskan dan hubungan historis serta spritual masyarakat adat Batak Toba dengan tanah karena di atas wilayah adat lah jejak sejarah dan ingatan masa lampau serta kehidupan yang akan datang diteruskan dari generasi ke generasi.

Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara bukanlah sebuah perayaan seremonial yang penuh dengan hinggar binggar, namun merupakan bentuk sebuah perayaan perlawanan dan tongak sejarah perlawanan masyarakat adat Nusantara untuk terus berjuang dan melawan ketidakadilan atas perampasan hak-hak asasi serta ruang-ruang kehidupan masyarakat adat demi terwujudnya masyarakat adat berdaulat secara politik,mandir dan bermartabaat.

Selamat Hari Kebangkitan Masyarakat Adat
Selamat Hari Jadi AMAN ke 20 Tahun

Salam Nusantara

Horas

tanobatak

Sebuah organisasi masyarakat adat yang ada di daerah Tanah Batak Sumatera Utara

One thought on “Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara: Merayakan Perlawanan Atas Ketidakadilan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *