BeritaSimalungun

Setelah Bebas, Sorbatua Siallagan Kembali di Provokasi PT. TPL. 

Dolok Parmonangan, Simalungun- Ketegangan antara PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan Masyarakat Adat Dolok Parmonangan di Desa Pondok Buluh, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun, kembali memuncak. Dalam sepekan terakhir, dua insiden serius memicu kemarahan warga: penyemprotan tanaman secara sepihak hingga gosong, pelarangan mendirikan pondok di kebun nanas milik warga, serta pemblokiran akses menuju makam leluhur, Ompu Umbak Siallagan, generasi pertama yang mendiami wilayah tersebut.

Security PT. TPL Melarang Masyarakat Mendirikan Pondok di Kebun Nenasnya.”

Peristiwa pertama terjadi pada Minggu, 27 Juli 2025. Sejumlah sekuriti PT TPL mendatangi lahan pertanian warga dan melarang mereka mendirikan pondok di kebun nanas mereka. Lebih mengejutkan, warga menemukan tanaman mereka telah disemprot dengan bahan kimia hingga rusak parah. Di lokasi yang sama, muncul bibit tanaman eukaliptus milik perusahaan.

“Tanaman kami rusak karena disemprot, lalu digantikan dengan eukaliptus. Kami juga dilarang membangun gubuk di kebun kami sendiri,” ujar Sorbatua Siallagan, tokoh adat Dolok Parmonangan, dengan nada kecewa.

Warga yang mencoba meminta penjelasan hanya mendapat jawaban normatif dari security PT. TPL yang menyatakatan bahwa mereka hanya menjalankan perintah atasan karena lahan tersebut merupakan bagian dari konsesi mereka. Namun, tak ada penjelasan hukum terkait dasar penyemprotan atau penggantian tanaman tersebut.

      “Bangunan Pondok Yang Dilarang PT. TPL”

Belum reda kemarahan warga, insiden kedua terjadi pada Rabu, 30 Juli 2025. Sebanyak 15 orang warga keturunan Ompu Umbak Siallagan dilarang memasuki kawasan makam leluhur mereka. Akses utama ke makam ditutup dengan pagar besi dan dijaga oleh pihak keamanan perusahaan. Bahkan, jalur alternatif yang biasa digunakan warga diputus dengan cara menggali lubang besar sehingga mereka tak dapat berziarah.

“Jauh sebelum perusahaan ini datang, jalan ke makam itu sudah kami lalui. Tapi sekarang, kami diperlakukan seolah tak punya hak sedikit pun untuk mengunjungi makam leluhur kami,” ucap Sorbatua dengan nada geram.

     “Tanaman Nenas Warga Yang Disemprot”

Dua peristiwa ini menambah daftar panjang tindakan represif dan provokatif yang dilakukan PT TPL terhadap komunitas adat di kawasan Tano Batak. Ketua AMAN Tano Batak, Jhontoni Tarihoran, mengecam keras tindakan tersebut.

“Ini adalah pola kolonialisme modern. PT TPL tidak hanya merampas tanah Masyarakat Adat, tetapi juga merusak identitas mereka—baik dengan menghancurkan sumber penghidupan maupun menutup ruang spiritual mereka,” tegas Jhontoni.

Sementara itu, Boy Raja Marpaung, S.H., M.H., kuasa hukum dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), menyebut tindakan PT TPL sebagai bentuk pembangkangan hukum dan penghinaan terhadap sistem peradilan di Indonesia.

“Seharusnya, pasca putusan Pengadilan Negeri Medan dan Mahkamah Agung yang sudah berkekuatan hukum tetap dalam kasus kriminalisasi terhadap Sorbatua Siallagan, komunitas adat keturunan Ompu Umbak Siallagan sudah mendapat perlindungan hukum penuh atas wilayah adatnya. Putusan itu adalah bentuk pengakuan tak langsung atas hak-hak mereka,” ungkap Boy.

Namun, kenyataannya, lanjut Boy, PT TPL justru tetap melakukan intimidasi tanpa dasar hukum yang sah.

“Ini bentuk pelanggaran terang-terangan terhadap putusan pengadilan. Negara harus hadir untuk menegakkan hukum dan menghentikan korporasi yang mencederai keadilan,” katanya.

Akses Dipagar, Warga Dilarang Masuk  Berziarah”

Boy juga memberikan peringatan keras bahwa jika negara terus abai terhadap konflik ini, maka potensi munculnya korban-korban baru sangat besar.

“Jika negara tidak segera ambil bagian secara aktif dalam penyelesaian konflik ini, bukan tidak mungkin akan ada korban-korban selanjutnya seperti Sorbatua Siallagan. Ketika negara diam, kekuasaan korporasi akan semakin brutal, dan Masyarakat Adat akan terus dikorbankan dalam ketidakadilan yang berulang,” ujarnya.

Masyarakat Adat Dolok Parmonangan mendesak pemerintah daerah dan pusat, termasuk Pemkab Simalungun, Menteri Kehutanan, Komnas HAM, serta Ombudsman RI untuk segera mengambil tindakan tegas. Mereka menuntut dihentikannya segala bentuk intimidasi, serta pengakuan dan perlindungan terhadap tanah ulayat yang diwariskan turun-temurun.

“Kami tidak akan mundur. Ini soal harga diri, sejarah, dan masa depan generasi kami,” pungkas Sorbatua.

Sorbatua Siallagan adalah tokoh adat dari komunitas Masyarakat Adat Dolok Parmonangan, keturunan langsung dari Ompu Umbak Siallagan, leluhur yang pertama membuka wilayah tersebut. Ia dikenal karena konsistensinya memperjuangkan hak atas tanah adat dari klaim sepihak PT Toba Pulp Lestari (TPL).

Pada 22 Maret 2024, Sorbatua ditangkap oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara atas laporan PT TPL, dengan tuduhan pembakaran dan pendudukan kawasan hutan.

Pos Penjagaan PT. TPL Menuju Makam Ompu Umbak Siallagan”

Pada Agustus 2024, ia divonis dua tahun penjara dan denda Rp1 miliar, subsider enam bulan kurungan oleh Pengadilan Negeri Simalungun.

Namun perjuangan hukum Sorbatua membuahkan hasil. Pada Oktober 2024, Pengadilan Tinggi Medan membatalkan vonis tersebut dan menyatakan dirinya bebas. Mahkamah Agung kemudian menolak kasasi jaksa pada 13 Juni 2025, menjadikan Sorbatua bebas secara sah dan tak dapat dituntut kembali. Kini, ia kembali berdiri di garda terdepan memperjuangkan haknya sebagai Masyarakat Adat.

Sopo Tano Batak

Sebuah organisasi masyarakat adat yang ada di daerah Tanah Batak Sumatera Utara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *