Sekolah Adat Sihaporas: Pendidikan dari Luka, Perlawanan, dan Harapan
Oleh: Maruli Simanjuntak
Ketika negara gagal memenuhi kewajibannya untuk melindungi tanah dan martabat Masyarakat Adat, mereka tidak diam. Mereka bangkit. Di Sihaporas, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, lahir sebuah bentuk perlawanan yang tidak mengangkat senjata, melainkan buku, cerita, dan akar-akar pengetahuan lokal.
Sekolah Adat Sihaporas bukan sekadar ruang kelas. Bahkan mereka tidak membangun gedung sekolah sebagaimana lazimnya. Mereka belajar di hutan, di ladang, di posko perjuangan, dan di halaman rumah. Mereka sekolah di alam raya. Disitu anak-anak dipertemukan dengan pengetahuan sejati yang tak mereka temukan dalam kurikulum negara: memahami fungsi tanaman obat, dan menghafal kisah para leluhur yang pernah melindungi tanah ini dari penguasaan kolonial dan kini dari korporasi.
Kemarin (20 Juli 2025), penulis menyaksikan langsung bagaimana proses belajar itu berlangsung di sebuah posko perjuangan Sihaporas. Anak-anak satu per satu menyebut nama-nama tanaman obat: Bangun-bangun, Losa, Lanting, Pitta-pitta, Hatirongga, Sampilulut, Sirukkas, Sihappir, Sae-sae, Silapayung, Sijukkot, Sisakkil, dan masih banyak lagi yang mereka sebut. Bukan hanya menyebut, mereka juga menjelaskan fungsinya. Inilah pelajaran biologi yang hidup, bukan dari teks cetak, tapi dari pengalaman turun-temurun. Di situlah warisan kearifan diwariskan—tidak melalui ujian pilihan ganda, tetapi lewat pengalaman kolektif dan cinta pada tanah.
Sekolah Adat Sihaporas lahir bukan karena kehadiran negara, tetapi karena ketidakhadirannya. Negara absen saat tanah mereka diserobot oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL), yang bertahun-tahun dituding menggusur hutan adat dan merampas ruang hidup masyarakat. Negara justru hadir saat mengirim polisi untuk menangkap pejuang dan kriminalisasi para pembela lingkungan.
Namun, masyarakat Sihaporas menjawabnya bukan dengan amarah yang membakar, melainkan dengan pendidikan yang membebaskan. Mereka mendidik anak-anak untuk menjadi penjaga tanah, bukan sekadar pencari kerja. Mereka menanam semangat keberanian, bukan rasa takut. Mereka menanam identitas, bukan kebingungan.
Di tengah krisis iklim, deforestasi masif, dan penggusuran yang tak henti, Sekolah Adat Sihaporas menjadi oasis keberanian dan perlawanan. Pendidikan ini tidak sekadar menyampaikan pengetahuan, tapi membentuk kesadaran kolektif: bahwa tanah, hutan, dan air adalah bagian dari diri. Bahwa melindungi hutan bukanlah tindakan kriminal, melainkan kewajiban suci kepada leluhur dan generasi mendatang.
Sekolah Adat ini adalah bentuk pendidikan yang hidup. Ia menolak sistem yang memisahkan manusia dari alamnya. Ia menolak kurikulum yang mengasingkan anak-anak dari sejarah dan identitasnya. Ia menolak pendidikan yang diam saat tanah leluhur dirampas atas nama investasi.
Apa yang dilakukan Masyarakat Adat Sihaporas adalah pelajaran bagi kita semua. Bahwa pendidikan sejati lahir dari keberanian untuk bermimpi dan bertahan. Ketika negara gagal menghadirkan keadilan, masyarakat tidak harus menunggu. Mereka bisa menciptakan jalannya sendiri. Dan jalur itu kini ditapaki anak-anak Sihaporas, yang langkah kecilnya akan tumbuh menjadi gerakan besar untuk masa depan yang lebih adil dan berakar.
Sekolah Adat Sihaporas adalah suara kecil yang terus berseru: “Kami masih ada. Kami tidak akan pergi.” Dan suara itu, lebih dari apapun, perlu kita dengar, jaga, dan perjuangkan bersama.
***
Penulis Adalah TIM Informasi dan Komunikasi Pengurus AMAN Wilayah Tano Batak.