PT. TPL Diminta Berhenti Beroperasi di Wilayah Adat!
Tarutung (9/2)-Pemkab Taput melalui Asisten Satu H. P. Marpaung mendatangkan perwakilan TPL ke aula kantor bupati Taput yang dihadiri Kadis Kehutanan Tonny Listen Simangunsong, Kapolsek Sipahutar M. Sihombing. Turut pula hadir anggota Komisi A DPRD Taput Maradona Simanjuntak dan Jasminto Simanjuntak, Masyarakat Adat (MA) Komunitas Oppu Ronggur Simanjuntak dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Tano Batak.
Dalam pertemuan yang cukup menegangkan itu, diambil beberapa kesimpulan sebagai hasil dan akan terus ditindaklanjuti. Salah satu kesimpulan tersebut menyampaikan kepada pihak TPL agar mereka berhenti beroperasi di wilayah adat Napa. Satu dekade sudah MA Keturunan Op. Ronggur Simanjuntak dirugikan dengan hadirnya TPL merampas tanah adat mereka, karena itu Pemkab sangat mendukung agar hak masyarakat adat Napa dikembalikan ke pemiliknya, MA Op. Ronggur Simanjuntak.
“Pemkab Taput sangat mendukung pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di wilayah pemerintahannya. Kita (pemkab-red) tidak menginginkan masyarakat sengsara. Jika kesengsaraan yang datang kepada masyarakat, maka kita menolak itu. Sejak dulu itu sudah saya katakan,” aku H. P. Marpaung.
Dalam kesempatan tersebut, Marpaung mempersilakan perwakilan-perwakilan untuk menyatakan pendapatnya. Saat dimintai oleh Asisten I kepada PT. TPL, terkait dengan luas dan batas wilayah kerja PT. TPL di Sipahutar tidak bisa dijelaskan oleh perusahaan bubur kertas tersebut secara rinci. Namun, hingga penghujung pertemuan peserta yang hadir (Pemkab, Muspika Sipahutar, Masyarakat Ada Komunitas Oppu Ronggur Simanjuntak, pihak Kepolisian Resort Taput bersama AMAN Wilayah Tano Batak) sepakat dengan pemberhentian kegiatan PT. TPL di wilayah adat Huta Aek Napa. Pada pertemuan yang lebih dari dua jam itu juga disepakati agar PT. TPL melakukan tata batas wilayah kerja yang dikordinir Dinas Kehutanan Taput dengan melibatkan masyarakat adat. Sedangkan warga tetap dapat melakukan kegiatan pengolahan lahan dengan tidak melakukan pengrusakan atau pencabutan tanaman eukaliptus milik perusahaan.
“Kami mencari nafkah di Napa, karena itu TPL harus berhenti beroperasi di sana. Berulang kali kami katakan bahwa jauh sebelum RI ada, moyang kami sudah membuka perkampungan di Napa (mamungka huta) dinamakan Aek Napa yang kini berada di Desa Sabungan Nihuta IV. Moyang kami di sana mencari nafkah, terutama mar haminjon (kebun kemenyenan-red). Dan hingga hari ini tidak ada dari keturunan moyang kami yang menyerahkan Napa ke pemerintah melalui kehutanan apalagi ke TPL,” ungkap Op. Lamhot Simanjuntak ketua komunitas masyarakat adat keturunan Oppu Ronggur Simanjuntak.
Sementara itu, pihak TPL mengaku tunduk sepenuhnya kepada wewenang pemerintah. Apa pun yang diputuskan pemerintah, TPL tidak akan membantah. Hal ini seperti disampaikan Kabag Humas TPL, Rudi Hariyanto Panjaitan.
“Kami mengusahai lahan adalah berdasarkan SK Menhut No 93 Tahun 1992 dan SK Menhut No 58/Menhut-II/2011. Berdasarkan izin tersebut, kami melakukan penanaman dan seterusnya. Namun, jika pemerintah menyatakan berhenti, ya kami berhenti. Jika pemerintah mencabut hak konsesi, ya kami segera angkat kaki,” ujarnya.
Perlu diketahui MA keturunan Op. Ronggur Simanjuntak telah memiliki tanah adat Napa sejak 200 tahun lampau. Sementara konflik dengan TPL sudah berlangsung selama 10 tahun lebih hingga kini. (Jakob Siringoringo)