Uncategorized

Dari Janji Matogu, Merebut Kembali Kedaulatan Masyarakat Adat Natumingka Atas Tanah Adatnya

Natumingka sebuah desa di daerah Habinsaran tepatnya di kecamatan Borbor Kabupaten Toba Samosir. untuk menuju desa ini dapat ditempuh dengan 1 ½ jam perjalanan dari Ibu Kota Kabupaten Tobasa, Balige dengan menggunakan kendaraan bermotor. Natumingka menjadi rumah bagi 130 lebih kepala keluarga yang mayoritas menggantungkan hidupnya dari bertani Kopi dan menyadap pohon bagot atau aren yang diolah menjadi minuman tuak.

Hamparan perladangan kopi tampak mendominasi sepanjang jalan di desa ini dan diseberang jalan satu lagi terhampar luas perkebunan ekauliptus milik PT. Toba Pulp Lestari yang mamanjang sepanjang jalan desa. Selain menjadi petani kopi  dan menyadap pohon aren, masyarakat juga mengantungkan hidup mereka dari tumbuhan endemik andaliman yang tumbuh banyak di Natumimgka. Solidaritas antar masyarakat adat Natumingka terlihat jelas ketika seluruh masyarakat adat Natumingka hadir saat pengurus AMAN Wilayah Tano Batak yang datang untuk melakukan pertemuan  serta diskusi dengan masyarakat terkait permasalahaan wilayah adat mereka.

Rasa antusiasme yang tinggi juga tampak dari semangat orang tua dan anak muda ketika akan bersama-sama melakukan pemetaan partispatisipatif wilayah adatnya.  Suasana hangat dan keramahan ini berlanjut saat sore hari, ketika kami bersama-sama orang tua dan anak muda yang baru menyelesaikan pemetaan partisipatif minum tuak bersama sambil bercerita serta bernyanyi untuk sekedar melepas lelah. Hal ini sudah menjadi tradisi bagi masyarakat adat Natumingka serta pada umumnya masyarakat Batak  sebagai bentuk dari menjaga nilai-nilai persaudaraan dan solidaritas antar masyarakat itu sendiri.

Menilik dari sejarah, desa ini sudah mulai dihuni sekitar hampir 300 tahun yang lalu,  sudah 15 generasi masyarakat adat Natumingka hidup dan mengelola wilayah adat Natumingka. Desa ini pertama kali dibuka oleh marga Simanjuntak, yaitu Oppu Raja Duraham Simanjuntak dan keturunananya  menjadi Marga Raja atau pemilik hak ulayat atas wilayah adat Natumingka. Meskipun di dominasi oleh marga Simanjuntak sebagai pemilik hak ulayat atas tanah adat di Natumingka, namun hubungan antara marga raja dengan marga pendatang atau marga lain yang tinggal di Natumingka berjalan dengan baik dan tidak pernah terjadi konflik antar sesama masyarakat karena rasa persaudaraan dan sifat terbuka dari masyarakat adat Natumingka.

Menurut cerita sejarah singkat seperti yang dituturkan oleh para penetua, leluhur mereka pertama yang kali datang dan membuka perkampungan di Natumingka yaitu Oppu Raja Duraham Simanjuntak memiliki kegemaran berburu  dan setiap berburu Ompu Raja Duraham Simanjuntak selalu membawa benih biji padi dan labu. Benih tersebut di sebar di sekitar wilayah perburuan beliau. Setelah melanjutkan perburuannya, Oppu Raja Duraham Simanjuntak kembali lagi ke wilayah perburuaan yang sudah ditanami benih tadi melihat benih tersebut tumbuh subur membuat Oppu Raja Duraham memutuskan untuk mengutus anaknya yaitu Ompu Togar untuk membuka perkampungan di Natumingka yang dimana nama kampung pertama tersebut diberi nama Huta Bagasan dan nama Natumingka sendiri diambil dari kondisi topografi wilayah Natumingka yang seperti bertingkat-tingkat dan berada di atas wilayah pengunungan. Wilayah adat Natumingika dikelilingi oleh jurang-jurang yang dibelah oleh beberapa aliran sungai.

Ada kisah sejarah kelam dari masyarakat adat Natumingka dan kaitannnya dengan keberadaan PT. Toba Pulp Lestari di wilayah adat mereka yaitu penghacuran sebuah perkampungan lama yang dimana di lokasi tersebut masih banyak terdapat makam-makam leluhur mereka untuk dijadikan jalan untuk kegiatan Perusahaan . Dikisahkan Oppu Josua Simanjuntak, pada tahun 1987 pada saat PT. Indorayon yang berubah menjadi PT. TPL akan membuka jalan untuk konsesi mereka. Alat berat yang digunakan untuk membuka jalan tersebut meluluh lantahkan pemakan leluhur mereka sehingga tampak tulang belulang dan berbagai benda peninggalan leluhur tersebut menyembul keluar dari tanah bahkan ada beberapa bagian tulang-tulang tersebut seperti tengkorak yang dibuang ke sungai, tidak ada lagi penghargaan atau rasa hormat terhadap leluhur mereka.

Masyarakat pada kala itu tidak berani untuk melakukan protes berlebihan karena perusahaan tersebut di dukung oleh Pemerintahan Orde Baru yang terkenal otoriter. Banyak para pekerja jalan mengalami hal mistis sehingga tulang belulang yang sempat dibuang tadi dicari namun hanya beberapa bagian saja yang di dapat. Orang luar banyak menyebut daerah ini dengan sebutan “Tengkorak” karena saat peristiwa cukup banyak ditemukan tengkorak manusia di lokasi tersebut. Adapun nama asli dari daerah ini adalah Janji Matogu yang merupakan sebuah bekas perkampungan leluhur mereka dan kini tampak gundukan-gundukan tanah berupa bukit kecil yang menjadi lokasi kuburan tulang belulang tadi. Masih bisa ditemukan bukti-bukti artefak peninggalan leluhur berupa piring yang terbuat dari tanah, meskipun tidak utuh namun masih cukup banyak ditemukan di lokasi perkampungan lama ini, masih tampak juga benteng-benteng tanah yang menandakan bekas persawahaan dulunya.

Pohon-pohon pinus sisa program reboisasi atau penghijauan nasional tumbuh tinggi menjulang di areal bekas persawahaan tersebut. Gundukan tanah berupa makam tersebut diberi tanda berupa batu dan ada terdapat sekitar 5 makam berupa gundukan di Janji Matogu. Kini wilayah Janji Matogu sudah seluruhnya menjadi lahan konsesi dari perkebunan ekauliptus milik PT.TPL. Hanya pohon bambu dan gundukan tanah bernisan batu tersebut menjadi saksi bisu dari rakusnya eksploitasi wilayah adat hingga peninggalan bahkan tulang-belulang leluhur pun ikut menjadi korban dari kerakusan Negara dan Korporasi di wilayah adat. Pertanyaanya sampai kapan hal-hal seperti ini akan terjadi? Apakah generasi yang hidup saat ini diam melihatnya? Pertanyaan yang hanya kita bisa menjawabnya, generasi penerus dari para lelehur dan yang hidup di tanah yang di wariskan para leluhur.

Masyarakat adat Natumingka pun menyadari betapa pentingnya untuk tetap menjaga ingatan akan sejarah dan hubungan mereka dengan leluhur serta tanah adat mereka.  Masyarakat adat Natumingka kini tengah berjuang mengembalikan kehormatan “saring-saring”/“holi-holi” atau tulang belulang  para leluhur  dan kedaulatan atas tanah adat mereka sendiri yang selama ini dirampas oleh para pengusa dan Koorporasi.

tanobatak

Sebuah organisasi masyarakat adat yang ada di daerah Tanah Batak Sumatera Utara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *