Agama Parmalim di Aceh Singkil

DATANG ke Aceh Singkil, kita disuguhan  sebuah corak hidup beragama yang berbeda, aneh, dan unik dari daerah lain di Aceh. Di daerah yang berjuluk negeri Syekh Abdurrauf  ini terdapat  juga warga yang menganut  agama selain Islam dan Kristen, yakni agama Parmalim.

Keberadaan  pemeluk agama Parmalim, tidak pernah terusik.  Ia sepertinya, telah  mendapat tempat di ruang hati sebagian masyarakat Aceh Singkil. Keberadaan dan  perkembangannya pun tidak pernah diganggu gugat.

Dalam uraian panjang yang ditulis Sadri Ondang Jaya, penulis buku  “Singkil dalam Konstelasi Sejarah Aceh”, dijelaskan dari mana asal mula kepercayaan ini hadir di Aceh Singkil.

Agama Parmalim di Aceh Singkil

Apa itu Parmalim?

Parmalim, oleh panganutnya disebut agama. Namun, bagi negara, Parmalim adalah kepercayaan atau tidak dikategorikan agama, seperti Islam, Hindu, Budha, Kristen,  Katolik, dan Konghucu. Hal ini tertuang dalam SK Depdikbud RI No 1.136/F./N.1.1/1980 tentang Himpunan Kepercayaan Indonesia.

Parmalim  ini, belum tercatat sebagai agama di Indonesia.  Hanya baru  diakui sebatas aliran kepercayaan di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kubadayaan.

Parmalim ini di pimpin oleh R.M Naipospos, keturunan Raja Mulia Naipospos, salah seorang murid Sisingamangaraja ke 12 yang diberi mandat meneruskan kepercayaan tersebut kepada keturunannya sebelum Sisingamangaraja ke 12 meninggal dunia.

Agama ini tidak mengenal surga atau sejenisnya, selain debata Mula jadi Na Bolon (tuhan YME) dan arwa-arwa leluhur, juga tokoh-tokoh adat yang dihormati, seperti kaum Hula-hula. Pimpinan Parmalim saat ini, Raja Marnangkok Naipospos.

Bagi kepercayaan ini, pimpinannya disebut Ihutan Bolon. Sementara penganutnya disebut ras, dan orang yang mewakili penganutnya dari setiap daerah (cabang) disebut Ulupunguan.

Parmalim memang kepercayaan yang cukup unik. Rata-rata penganutnya asli keturunan Batak. Tetapi kepercayaan ini, mengharamkam penganutnya memakan babi, anjing, darah, dan menyantap makanan dari rumah keluarga yang tengah berduka (meninggal dunia).

Dari cara berbusana. Dalam upacara laki-laki yang telah menikah biasanya menggunakan sorban seperti layaknya seorang muslim serta menggunakan sarong dan ulos, selendang khas batak. Sementara yang wanitanya,  mengunakan pakaian adat yaitu sejenis sarung serta konde pada rambut.

Agama parmalim ini pada hakikatnya, agama asli batak, namun terdapat pengaruh agama Kristen, terutama Katolik, dan juga pengaruh agama Islam. Bahasa ritual yang digunakan adalah bahasa Batak. Agama ini sangat tertutup, penganutnya  hanya untuk suku batak saja.

Hutan dan Masyarakat Adat

Tata Kelola Hutan dan Pengakuan Masyarakat Adat Kembali Dipertanyakan

Jakarta (Greeners) – Beberapa pihak menuding fenomena El Nino dan masyarakat adat sebagai faktor penyebab pembakaran hutan dan lahan selama ini. Sementara, sistem pemanfaatan sumber daya hutan selama 45 tahun terakhir belum menunjukkan adanya perbaikan.

Soelthon G. Nanggara, Wakil Direktur Forest Watch Indonesia (FWI) menyatakan, dari data sebaran titik api membuktikan bahwa ada yang salah dalam sistem pemanfaatan hutan di Indonesia. Pemerintah, kata Soelthon, tidak bisa serta-merta hanya menyalahkan El nino sebagai penyebab tunggal kebakaran hutan dan lahan. Menurut Soelthon, momentum ini harusnya membuat pemerintah melakukan review terhadap izin pemanfaatan hutan dan lahan (gambut), serta segera mencabut izin-izin konsesi yang terbukti membakar hutan.

“Pembakaran hutan dan lahan pada rentang bulan Januari hingga Oktober 2015 sebagian besar atau 72% terjadi di dalam kawasan hutan dengan 34.960 titik api. Pada rentang waktu tersebut, 50% titik api berada di dalam konsesi perusahaan dan selebihnya tersebar pada area moratorium izin (23%), area yang tidak termasuk di dalam wilayah moratorium (23%), dan sebagian kecil di wilayah adat (4%),” terangnya, Jakarta, Jumat (04/12).

Soelthon melanjutkan, pembagian kawasan hutan juga menunjukkan bahwa konsentrasi sebaran titik api terbesar berada di hutan produksi (HP/HPK/HPT) sebesar 52%, dan hutan lindung sebesar 11%. Temuan ini diperkuat oleh berbagai kajian yang menunjukkan bahwa indeks tata kelola yang rendah akan berkontribusi terhadap kerusakan sumber daya hutan dan lahan.

Mendorong keterbukaan terkait proses pemberian izin untuk pemanfaatan hutan dan lahan, termasuk memastikan penegakan hukum terhadap para pelaku pembakaran, bisa digunakan sebagai menjadi langkah awal. “Pembakaran hutan dan lahan itu merupakan imbas dari buruknya tata kelola yang tak kunjung diperbaiki,” tambahnya.

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan juga menyatakan kalau pembakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 telah menyebabkan emisi karbon sebesar 15-20 juta ton per hari. Sedangkan Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada COP 21 di Paris, Perancis menyebutkan bahwa masyarakat adat merupakan aktor penting yang harus dilibatkan dalam upaya penurunan emisi di Indonesia.

Selama ini masyarakat adat telah menunjukkan perannya dalam menjaga hutan yang terbukti efektif dalam mencegah emisi karbon. Informasi yang diperoleh AMAN dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) menunjukkan, dari 6,8 juta hektare wilayah adat yang sudah dipetakan, 65 % masih berupa hutan alam.

AMAN juga telah mengidentifikasi bahwa ada 57 juta hektare atau 80% kawasan hutan yang dikuasai oleh masyarakat adat. Tidak kurang dari 40 juta hektare diantaranya masih berupa hutan alam dalam kondisi yang sangat baik.

Agar hutan alam ini terus terjaga, Abdon menyarankan agar pemerintah Indonesia mendukung percepatan pemetaan wilayah-wilayah adat untuk diintegrasikan kedalam kebijakan nasional satu peta (one map policy). Selain itu, pemerintah juga diminta untuk memberikan kepastian hukum terhadap hak-hak masyarakat adat melalui pengesahan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat.

“AMAN mengapresiasi dan memastikan akan mengawal komitmen Presiden Joko Widodo ini,” tegas Abdon.

Penulis: Danny Kosasih