BATU NA GODANG SI ATAS: LUMBUNG PANGAN HUMBANG HASUNDUTAN
Oleh: April Purba
Batu Nagodang jika di terjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti Batu yang besar. Ini merujuk pada situasi geografis Masyarakat Adat yang ada di sana. Mereka tinggal di kaki bukit (Dolok) Pinapan, Dolok yang mempunyai cerita unik bagi masyarakat adat keturunan Ompu Marhuling Simanullang.
Secara administratif, Huta (Kampung) Batu Nagodang, Huta Si atas, Huta Sitonong di satukan menjadi sebuah Desa Batu Nagodang Siatas Sitonong, di Kecamatan Onan Ganjang, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.
Dahulu Batu Nagodang di huni oleh seorang tetua adat yang bernama Ompu Marhuling Simanullang, yang memiliki kebiasaanya menggembalakan kerbau, lalu datang ke Batu Nagodang. Ceritanya, bahwa kerbau Ompu Marhuling lah yang membawanya ke Batu Nagodang. Sedangkan nama Batu Nagodang, di ambil dari situasi geografis kampung ini, terdapat batu-batu besar.
Setelah menetap di Batu Na Godang, Ompu Marhuling Simanullang, mulai bertani mengelola sawah juga memelihara kerbau, hingga membuat Ompu Marhuling terkenal karena memiliki kerbau yang banyak. Di akhir hayatnya, Ompu Marhuling mewariskan tanah bagi keturunannya, baik sawah, ladang, hutan kemenyan (tobbak) dan kolam ikan (tabbok) guna melanjutkan kelangsungan hidup gernerasinya (pinomparna).
Keseharian masyarakat Batu Nagodang masih melanjutkan tradisi nenek moyang mereka, yaitu bertani dan beternak sebagai aktivitas pemenuhan ekonomi sehari-hari. Beberapa hasil pertanian yang dihasilkan masyarakat adat di Batu Nagodang adalah padi, kayu manis, aren, kopi, kemenyan dan tanaman sayuran. Dari masa ke masa di Batu Nagodang sudah menjadi tradisi menanam padi, karena aliran air dari Bukit (Dolok) Pinapan mampu membutuhi pengairan untuk areal sawah di Batu Nagodang, Siatas dan Sitonong, yang cukup luas seperti; sawah (parhaumaan) di Hasang, Saba Gonting, Tabbok Dolok, Nahornop Soburan, dan lainnya. Di Batu Nagodang dalam setahun hanya sekali panen, hitungan sekali panen untuk 1 Kepala Keluarga bisa menghasilkan 50-135 Karung atau sekitaran 2-6 Ton per Keluarga.
Menurut James C. Scott, seorang ilmuwan politik dan antropolog, mengartikan lumbung sebagai “struktur ekonomi politik yang memfasilitasi penyimpanan dan distribusi makanan untuk tujuan memitigasi risiko dan membangun solidaritas di dalam masyarakat agraris.”
Masyarakat adat di Desa Batu Nagodang Siatas Sitonong mempunyai potensi sumber daya pangan, jadi perlu membutuhkan dukungan kerja sama, gotong royong agar mendapat perhatian, seperti fasilitas infrastruktur jalan, jaminan harga gabah, beras, membangun koperasi bersama. Hal ini akan mempermudah akses masyarakat adat dalam mendukung Pemerintah Humbang Hasundutan sebagai lumbung pangan yang ber kontribusi untuk ketahanan pangan skala Nasional.
Meski pun hasil Panen Batu Nagodang cukup tinggi, justru mendapat kendala yaitu tidak adanya kepastian harga yang adil terhadap petani, lalu banyaknya tengkulak-tengkulak yang datang dari daerah lain, dan menekan harga yang rendah. Sehingga masyarakat adat Batu Nagodang belum bisa mendapatkan harga yang sesuai. Untuk itu, masyarakat Adat perlu di dukung baik dari pemerintah atau pun pihak lain yang dapat menjaga dan mendukung keberlanjutan Masyarakat Adat di Batu Nagodang.
Populasi pohon Aren yang banyak membuat masyarakat adat di sana, masih mengolah gula merah dari aren, namun cenderung berkurang. Masyarakat lebih memilih menjadikan tuak (nira), prosesnya lebih cepat. Juga proses pembuatan gula aren memakan waktu, tenaga, dan proses yang cukup lama, sehingga mereka beralih memutuskan membuat tuak (nira) yang prosesnya cepat dan lebih menguntungkan.
Tuak dari Batu Nagodang cukup dikenal oleh masyarakat Onang Ganjang bahkan Humbang Hasundutan, karena rasanya enak, murni tanpa ada campuran lain. Sehingga Para toke-toke tuak pun berdatangan ke Batu Nagodang untuk menampung tuak, lalu di sebarkan ke berapa lapo- lapo (kedai) tuak yang ada di daerah Humbang Hasundutan, seperti ke Kota Doloksanggul.
Menurut Harisan Boni Firmando (2020) dalam Aceh Anthropological Journal, bahwa kepercayaan Batak tradisional membuat tuak sebagai sajian untuk roh-roh nenek moyang atau orang yang sudah meninggal. Tuak dijadikan minuman pada upacara adat resmi, seperti manuan ompuompu dan upacara manulangi hingga pada acara adat mangokkal holi dan yang lainnya.
Batu Nagodang juga mendapatkan warisan berupa kolam yang dinamai Tabbok Nabolak (kolam yang luas). Kolam ini lah yang membantu perairan ke sawah-sawah masyarakat untuk persiapan penanaman padi. Kolam ini pun dikelola keturunan Ompu Marhuling sebagai kolam ikan, guna mencukupi kebutuhan ikan di dapur. Juga untuk menambah penghasilan bagi masyarakat Batu Nagodang melalui hasi pejualan ikan dari Tabbok Nabolak.
Tidak lupa juga dengan Keindahan Panorama Alam dari Dolok (Bukit ) Pinapan yang menjadi ikon Batu Nagodang bahkan Kecamatan Onan Ganjang yang dikenal oleh masyarakat di Indonesia, akan keindahan pemandangannya. Dolok (Bukit) yang ketinggiannya sampai 2.000 MDPL, sehingga bisa melihat daerah atau kota-kota seperti , Laut Barus dari sana, Kota Dolok sanggul. Keindahan pemandangan Dolok Pinapan menjadikan daya tarik yang tinggi seperti tercipta sebuah lagu yang populer yang memuat tentang Dolok Pinapan. Selain itu, yang menjadi daya tarik nya adalah sering dijadikan mitos atau cerita yang dulu terdapat emas sebesar kepala kuda dan sampai saat ini menjadi sebuah misteri.
Dolok Pinapan mempunyai beberapa goa, air terjun dan aliran sungai, salah satu adalah Sungai Sipoti yang bermuara ke Batu Nagodang. Air sungai Sipoti berasal dari Bukit Pinapan yang airnya sangat jernih dan segar sehingga masyarakat Batu Nagodang menjadikan sungai ini sebagai tempat mandi. Selain itu aliran sungai inilah yang juga digunakan mengairi persawahan di sana. Tidak hanya Sungai Sipoti, namun aliran air dari Dolok Pinapan lah yang digunakan masyarakat untuk kebutuhan rumah baik sebagai air minum, mencuci, dan lainnya.
Kehidupan Masyarakat Adat di Batu Nagodang telah memberikan sumbang sih terhadap ekonomi, dengan berlandas kan kearifan lokal untuk menjaga kekayaan sumber daya alam yang ada di sana, karena mereka bertanggung jawab untuk mewarisi nya untuk di nikmati anak cucunya di kemudian hari.
Penulisan adalah Bidang Informasi dan Komunikasi (INFOKOM) Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Humbang Hasundutan.