BeritaToba Samosir

Aliansi Gerak Tutup TPL Gelar Konsolidasi di Samosir, Siapkan Aksi Desak Pencabutan Izin Operasional PT. Toba Pulp Lestari

Oleh: Maruli Simanjuntak

Penolakan terhadap keberadaan PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Tano Batak kembali menggema. Pada Rabu (25/6), Aliansi Gerak Tutup TPL menggelar konsolidasi di Kabupaten Samosir. Kegiatan ini bertujuan membangun pemahaman bersama antara Masyarakat Adat, organisasi masyarakat sipil, lembaga adat, pemuda, dan tokoh agama untuk mendesak pencabutan izin operasional perusahaan bubur kertas tersebut.

Konsolidasi ini bukan sekadar memperkuat solidaritas lintas komunitas, tetapi juga menjadi momen strategis untuk menyusun langkah bersama dalam menghadapi dampak ekologis dan sosial yang ditimbulkan TPL selama puluhan tahun beroperasi di kawasan Danau Toba.

Dalam sambutannya, Anggiat Sinaga menegaskan bahwa konsolidasi ini bertujuan memperkuat perjuangan kolektif untuk menuntut pencabutan izin TPL.

“Selain membangun solidaritas, kegiatan ini juga menjadi wadah penguatan dukungan terhadap perjuangan masyarakat adat dan penyelamatan lingkungan hidup di Tano Batak,” ujarnya.

Hal senada disampaikan Josua Sihite dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM). Ia mengingatkan bahwa sejak awal kehadirannya-ketika masih bernama Indorayon—perusahaan ini telah ditolak oleh Masyarakat Adat karena tidak menghormati hak-hak mereka.

“Dampaknya sangat nyata: bencana ekologis seperti longsor dan banjir bandang. Data yang kami miliki menunjukkan bahwa 260 orang Masyarakat Adat pernah dipanggil oleh kepolisian, sebagian dipenjara, dan lebih dari 470 orang mengalami kekerasan fisik dari karyawan PT TPL saat mereka mempertahankan tanah adat,” tegasnya.

Ketua PH AMAN Tano Batak, Jhontoni Tarihoran, menyoroti akar konflik antara PT TPL dan Masyarakat Adat yang bermula dari penetapan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Kehutanan.

“Negara memberikan izin konsesi tanpa penataan batas yang jelas terhadap tanah adat. Itulah penyebab utama konflik berkepanjangan,” katanya.

Ia juga menyinggung kasus kriminalisasi terhadap Sorbatua Siallagan, petani adat yang sempat divonis dua tahun penjara dan denda Rp1 miliar karena bertani di atas tanah adatnya sendiri.

“Di tingkat banding ia dibebaskan, dan putusan itu diperkuat oleh Mahkamah Agung. Ini bukti bahwa perjuangan masyarakat adat adalah sah,” tambah Jhontoni.

 

Seruan Moral dan Kekhawatiran Bersama

Ketua Lembaga Adat Samosir, Pantas Marroha Sinaga, mengingatkan bahwa jika praktik penguasaan tanah oleh negara dan korporasi terus dibiarkan, dalam dua puluh tahun ke depan Masyarakat Adat bisa kehilangan seluruh ruang hidupnya.

“Kita tak bisa terus berharap pada pemerintah yang ambigu. Sudah saatnya hukum adat dan rakyat mengambil sikap. TPL harus ditutup,” tegasnya.

Dukungan juga datang dari kalangan gereja. Praeses HKBP Distrik VII Samosir, Pdt. Rintalori Sianturi, menyatakan bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari panggilan iman.

“Tanah ini adalah titipan Tuhan. Menjaganya adalah kewajiban moral dan spiritual. Jika aksi dilakukan, para pendeta HKBP Distrik VII siap turun ke lapangan,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa perlindungan lingkungan hidup merupakan bagian dari suara kenabian. Ia juga menyebut bahwa Ephorus HKBP saat ini aktif membangun dialog lintas agama dan menjalin kerja sama dengan lembaga negara demi memperjuangkan lingkungan di Tano Batak.

“Kami tegak lurus mendukung langkah Ompui,” tegasnya.

Rehat Pardosi dari Pemuda Katolik juga menyatakan sikap tegas menolak kehadiran PT TPL. “Kami tetap berkomitmen menolak keberadaan TPL yang telah merusak lingkungan dan mengkriminalisasi masyarakat, termasuk orang tua yang mempertahankan tanah adatnya,” katanya.

Tokoh masyarakat Samosir, Pahala Tua Simbolon, menyerukan bahwa tahun 2025 harus menjadi tahun terakhir TPL di Tano Batak. Ia mencontohkan sikap pemerintah yang mencabut izin tambang di Raja Ampat karena merusak lingkungan.

“Kalau di Raja Ampat bisa, kenapa tidak dengan TPL yang jelas-jelas merusak Kaxasan Danau Toba selama lebih dari 40 tahun?” katanya.

Ia mengajak masyarakat untuk bersatu dalam gerakan perlawanan.

“Sudah saatnya rakyat bergerak dan bersatu untuk mengusir perusak lingkungan itu,” serunya.

Pahala juga mengenang kondisi alam Samosir di masa lalu.

“Pada 1980-an, hutan di Samosir masih lebat dan air melimpah. Sekarang, ketika kemarau tiba, masyarakat harus membeli air. Ini akibat langsung dari kerusakan hutan yang terus dibiarkan,” tambahnya.

 

Sebagai tindak lanjut dari konsolidasi ini, organisasi masyarakat sipil sepakat akan menggelar aksi damai dalam waktu dekat di Kabupaten Samosir. Aksi ini dimaksudkan sebagai bentuk tekanan kepada pemerintah agar segera mencabut izin PT TPL dan menghentikan seluruh aktivitas perusahaan yang dianggap merusak ekologi dan mengancam hak-hak Masyarakat Adat.

Dalam konsolidasi tersebut, para peserta juga menyampaikan pernyataan sikap bersama, sebagai berikut:

1. PT TPL tidak layak lagi berada di Tanah Batak dan harus segera ditutup secara permanen. Kehadirannya terbukti merusak lingkungan, menghancurkan hutan adat, mengeringkan sumber air, dan menciptakan konflik sosial.

2. Perjuangan ini bukan semata-mata politis, tetapi juga moral dan spiritual. Dukungan dari pemimpin gereja menjadi bagian penting dalam menjaga ciptaan Tuhan.

3. Hentikan krisis ekologi dan penderitaan rakyat. Krisis air, tanah tandus, kekeringan, dan hilangnya keanekaragaman hayati adalah akibat eksploitasi hutan oleh PT TPL.

4. Tegakkan kedaulatan rakyat. Pemerintah Kabupaten Samosir dan daerah lainnya diminta segera mengakui dan menetapkan wilayah adat secara resmi, serta menolak seluruh izin yang mencaplok hutan adat.

5. DPRD Samosir didesak membentuk Panitia Khusus untuk mempercepat penutupan PT TPL.

6. Pemerintah diminta bertanggung jawab atas pemulihan ekosistem hutan yang rusak akibat operasi perusahaan.

Konsolidasi ini menegaskan bahwa gerakan penolakan terhadap PT TPL bukan sekadar seruan emosional, melainkan perlawanan yang terorganisir demi kelestarian tanah, air, dan kehidupan di Tano Batak.

***

Penulis adalah Tim Infokom AMAN Tano Batak

Sopo Tano Batak

Sebuah organisasi masyarakat adat yang ada di daerah Tanah Batak Sumatera Utara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *